Wednesday, August 16, 2006

BENDERA PUSAKA

Kata bendera pusaka akan selalu terdengar menjelang 17 an. Menurut Kompascyber media terbitan Jumat, 02 Desember 2005, 13:00 WIB (http://www.kompas.com/utama/news/0512/02/130542.htm)...


Bendera pusaka dibuat Ibu Fatmawati, istri Presiden Soekarno, tahun 1944. Bendera berbahan katun Jepang berukuran 276 x 200 cm. Bendera itu pertama kali dikibarkan pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus tahun 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta Pusat. Dari tahun 1946 sampai dengan 1968, bendera tersebut hanya dikibarkan pada setiap HUT Kemerdekaan RI. Sejak tahun 1969, bendera itu tidak pernah dikibarkan lagi.


Berarti bendera pusaka (BP) menjalankan tugasnya setahun sekali selama 23 tahun, dan kemudian disimpan , hingga tahun 2006 ini berarti sudah disimpan selama 37 tahun.

(menurut UU BCB, sudah jadi benda bcb tuh)


Di dalam artikel itu juga dijelaskan kondisi BP pada saat tulisan tersebut dibuat

...................Bendera itu sempat sobek di dua ujungnya, ujung berwarna putih sobek sebesar 12 X 42 cm. Ujung berwarna merah sobek sebesar 15x 47 cm. Lalu ada bolong-bolong kecil karena jamur dan gigitan serangga, noda berwarna kecoklatan, hitam, dan putih. Karena terlalu lama dilipat, lipatan-lipatan itu pun sobek dan warna di sekitar lipatannya memudar. Setelah dikonservasi, kondisi bendera itu tidak lagi sobek meski di sana-sini masih terdapat bolong-bolong kecil. ...............


Sebagai orang yang ikut terjun di dunia konservasi, meskipun belum pernah melihat kondisinya secara langsung, rasanya miris juga.
Sempat ada pertanyaan ke saya, bagaimana sih cara melakukan konservasi terhadap bendera pusaka tersebut??

Saya katakan, saya tidak bisa menjawab sebelum melakukan survey kondisi BP dan juga kondisi lingkungannya..

Namun yang patut menjadi pegangan..
Tindakan apapun yang akan dilakukan adalah bertujuan untuk menyelamatkan BP. Jangan sampai tindakan yang akan dilakukan malah menambah kerusakan atau menimbulkan kerusakan baru.

Karena BP memiliki nilai historis yang tinggi, jangan sampai tindakan konservasi yang dilakukan justru menghilangkan nilai sejarah yang ada...


Rekan sekaligus guru saya , Dinah Eastop dari Textile Conservation Centre, Southampton Inggris pernah bercerita, bahwa noda pada objek dihilangkan atau tidak tergantung nilai historisnya. Jika pada kain / baju / bendera terdapat noda darah yang mengering akibat terkena peluru (misalnya pada perang), maka sebagai konservator, kita tidak patut menghilangkan noda darah yang mengering itu
Karena...., nilai sejarahnya justru pada noda tersebut.
Kalau dihilangkan berarti , kita, konservator, telah menghilangkan bukti otentik dari sejarah!!!!
Pada kasus ini berlaku ...Dirty is not dirty





Kita kembali pada bendera pusaka,
Saya tidak mau ikut campur dengan permasalahan pemindahan bendera dari Istana ke Monas (sebenarnya jadi dipindah apa belum sih???),

Saya cuma care dengan kondisi nya!!!! Kalau dari laporan pandangan mata wartawan kompas diatas itu, terdapat lubang akibat serangga dan jamur, serta memudar dan (rapuh??) pada bagian lipatan-lipatan, ... berarti yang perlu di perhatikan adalah kondisi lingkungannya, terutama lingkungan mikro yang langsung mengenai koleksi.
Temperatur dan kelembaban relatif (RH) pada lingkungan harus terus dimonitor jangan sampai terjadi fluktuasi.
Lingkungan harus bebas dari serangga perusak ( mengenai serangga perusak, kami tim dari MusNas sedang membuat bukunya).

Dan kalau dilihat dari objeknya, itu bendera terbuat dari katun. Berarti serat nya berasal tumbuhan. Tentu pemeliharaan akan sedikit berbeda dengan objek yang terbuat dari serat hewan atau serat buatan..
Lalu pewarnaan.
Apakah pada tahun 1944 untuk warna merah dicelup atau bagaimana?

Apabila kita telah tahu kondisi-kondisi seperti itu, langkah apa pun yang diambil akan lebih mudah dan teratur.
Tentunya untuk satu tujuan ;
MENGHILANGKAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN PADA BENDERA PUSAKA

atau kalau itu susah... ya MEMINIMALISASI NYA !!!!!!!!!


Terlepas dari itu semua,
Saya bangga kita memiliki Bendera Pusaka yang masih bertahan hingga hari ini..
Mudah-mudahan anak cucu cicit saya pada 100 tahun yang akan datang juga merasakan kebanggaan yang sama..



M.E.R.D.E.K.A !!!!!!!!!!!!!!!!

Tuesday, August 15, 2006

bagian V. Solusi

V. Solusi : Manajemen Penanganan Cahaya

Tidak dapat dipungkiri, pencahayaan pada koleksi yang dipamerkan menimbulkan kenyamanan visual bagi pengunjung museum. Hal ini dikarenakan dengan adanya cahaya dapat menimbulkan efek 3 dimensi dari koleksi terutama pada koleksi yang ingin ditonjolkan dan mudah untuk membaca label. Namun pemakaian yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan permanen pada koleksi, terutama untuk koleksi yang sensitif terhadap cahaya. Untuk mengatasinya, perlu dilakukan pengaturan dan manajemen pencahayaan pada koleksi dengan lebih memperhatikan penggunaan jenis lampu yang dipakai. Disamping itu hal-hal lain yang disarankan dalam manajemen pencahayaan koleksi antara lain:
1. Mengurangi cahaya matahari (daylight) yang masuk ke koleksi
2. Apabila memang lampu halogen diperlukan, maka pilih lampu halogen yang telah memiliki UV filter.
3. Menggunakan lampu fluoresens yang nilai UV nya lebih rendah, dan kemudian ditutup dengan filter UV sebagai perisai yang dapat ditempatkan disekitar tabung.
4. Menggunakan lampu yang memiliki tombol pengatur cahaya (dimmer).
5. Gunakan saklar atau pengatur waktu dalam mengontrol cahaya, yang pada waktu tertentu akan mati.
6. Mengurangi nilai lux lampu dengan cara menjauhkan sumber cahaya dari koleksi yang dipajang.
7. Selalu memberikan semacam pelindung atau filter pada sumber cahaya.
8. Mendesain ruang pameran yang akomodatif dengan mata pengunjung. Hal ini memberikan kesempatan mata pengunjung untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan. Sebagai contoh, pada pintu masuk ruangan, ditempatkan lampu dengan kekuatan 500 lux, memasuki ruangan mendekati koleksi lampunya 200 lux, yang akan menuntun pengunjung hingga ke depan koleksi yang memiliki lampu 50 lux. Dengan demikian pengunjung pun merasa nyaman, karena tidak langsung ke tempat gelap.
9. Melakukan teknik yang telah dikenal sejak lama yaitu dengan menempatkan kain polos di depan koleksi, yang dapat dibuka oleh pengunjung yang akan menikmatinya.
10. Pada vitrin-vitrin tertentu yang memiliki koleksi sensitif, lampu berada diluar vitrin dan hanya dinyalakan oleh pengunjung yang ingin melihat.
11. Melakukan pembatasan waktu penempatan koleksi pada display atau dengan kata lain melakukan pergantian koleksi yang di display secara kontinyu. Dalam jangka waktu tertentu, koleksi diambil, lalu disimpan kembali dalam ruang penyimpanan dan tempatnya digantikan dengan koleksi lain yang sejenis. Dapat digunakan perbandingan 1: 3. Artinya apabila dalam setahun koleksi dipamerkan selama 3 bulan, maka 9 bulan berikutnya koleksi disimpan di dalam storage.

Bagian IV- Efek PEncahayaan pada koleksi

I. Efek Pencahayaan pada Koleksi

Seperti telah disebutkan diatas, cahaya memegang peranan penting dalam penyajian koleksi. Cahaya merupakan sebuah bentuk radiasi elektromagnetik yang disebut radiasi. Cahaya yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan (visible light, cahaya tampak) adalah yang berada pada panjang gelombang antara 400 – 700 nanometer (nm). Sedangkan yang dibawah 400 nm disebut cahaya ultraviolet dan yang berada diatas 700 nm adalah cahaya infra merah.

Kerusakan dapat berasal dari ketiga jenis cahaya. Sinar ultra violet dan cahaya tampak dapat menyebabkan perubahan stuktur kimia materi sedangkan sinar infra merah dapat menaikkan suhu sehingga memiliki efek membakar, dan sinar tampak.

Jenis cahaya yang umum ditemukan di museum adalah sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang berasal dari cahaya matahari (sunlight), cahaya siang (daylight) atau pun cahaya buatan (artificial light) seperti lampu tabung (fluoresens), lampu pijar atau lampu halogen

.

Pada koleksi museum kerusakan akibat cahaya karena adanya faktor-faktor sebagai berikut:

  1. Adanya sejumlah cahaya ultraviolet dalam sumber cahaya yang sering disebut nilai UV dengan satuan mikrowatt per lumen (mW/lumen). Nilai ini tergantung dari sejumlah cahaya yang digunakan. Nilai UV tertinggi berasal dari cahaya matahari (sunlight) dan cahaya siang (daylight). Untuk lampu buatan, lampu halogen dan fluoresense memiliki nilai UV yang sedang, sedangkan lampu pijar hampir tidak memiliki kandungan UV dalam cahayanya. Rekomendasi internasional untuk koleksi yang sensitif, seperti lukisan dan cat nilai UV nya harus dijaga agar tetap dibawah 75 mikrowatt/ lumen.
  2. Adanya nilai intensitas iluminasi cahaya, yaitu terang tidaknya cahaya yang mengenai koleksi. Nilai ini dinyatakan dalam satuan lux (lumen / cm2 ). Makin tinggi intensitas cahaya maka nilai lux akan makin tinggi. Sebagai perbandingan nilai 10 lux = cahaya 1 batang lilin. Koleksi yang sangat sensitif seperti tekstil direkomendasikan dibawah 50 lux. Sedangkan koleksi yang tidak terlalu sensitif seperti cat minyak dan gading direkomendasikan tetap di bawah 200 lux. Berdasarkan sensitifitas koleksi terhadap cahaya, terdapat 3 kelompok koleksi, yaitu:

i. Koleksi sangat sensitif, yaitu tekstil, kertas, lukisan cat air, foto berwarna, Kekuatan terhadap cahaya adalah 50 lux untuk 3000 jam pameran / tahun atau 150 lux untuk 250 jam/tahun

ii. Koleksi sensitif; yaitu koleksi cat minyak, foto hitam putih, tulang, kayu. Kekuatan terhadap cahaya adalah 200 lux untuk 3000 jam pameran/tahun

iii. Koleksi kurang sensitif; yaitu koleksi batu, logam, gelas, keramik. Koleksi jenis ini tahan terhadap cahaya

  1. Lamanya waktu paparan cahaya yang bersifat kumulatif pada koleksi, yang akan mempercepat terjadinya kerusakan. Makin sering koleksi terkena cahaya, berarti makin banyak intensitas cahaya yang mengenai koleksi, maka koleksi makin rusak.

Pengaruh cahaya terhadap koleksi telah diuji coba oleh Canadian Conservation Institution dengan menggunakan uji yang disebut sebagai standar wool biru (the blue wool standard). Dari blue wool standard ini dapat dilihat derajat pemudaran cahaya .

Untuk mengetahui seberapa besar akumulasi nilai lux yang telah diterima koleksi selama dipamerkan, berikut diberikan contoh perhitungan.

Contoh:

Pada vitrin yang berisi koleksi kain songket diukur nilai intensitas cahayanya, yaitu sebesar 30 lux. Kain tersebut telah dipamerkan selama 10 tahun tanpa dilakukan penggantian. Selama rentang waktu 10 tahun itu, berapa lama koleksi mendapat paparan cahaya ??. Apakah paparan tersebut telah melewati batas yang disarankan?? Bagaimana dapat dijelaskan kondisi seperti ini?

Penyelesaian:

- Koleksi dalam sehari dipamerkan selama 6 jam, maka sehari I = 6x30 = 180 lux/hari

- Untuk seminggu (6 hari kerja), I = 6 x 180 lux = 1080 lux / minggu

- Untuk sebulan (4 minggu) I = 4 x 1080 = 4320 lux / bulan

- Untuk setahun (12 bulan) , I = 12 x 4320 = 51.840 lux / tahun.

Karena standar yang diberikan, untuk paparan 50 lux sebaiknya hanya dipamerkan 3000 jam pameran/tahun = 50 x 3000 = 150.000 lux , maka

Untuk 30 lux, sebaiknya dipamerkan selama 150.000 / 30 = 5000 jam pameran.

Apabila satu hari dipamerkan selama 6 jam, maka koleksi dengan intensitas cahaya 30 lux, sebaiknya dipamerkan selama 5000/ 6 = 833 hari = 27 bulan = 2 tahun 3 bulan.

Dengan demikian waktu pamer selama 10 tahun itu sudah melewati batas yang ditentukan. (karena selama 10 tahun koleksi telah terkena paparan cahaya sebanyak: 10 x 51.840 = 518.400 lux.!!!!).

Saran yang dapat diberikan pada kasus seperti inji adalah cepat angkat koleksi dang anti dengan koleksi yang lain.

Bagian III ..Pencahayaan.......

I. Penataan Koleksi di Ruang Pamer

Setelah konsep alur cerita disepakati, langkah berikutnya adalah membuat konsep tersebut menjadi nyata, yaitu melalui penerapan tiga dimensi dalam ruang pamer. Disini dituntut peranan maksimal dari desainer peñata pameran sehingga mampu membuat pegunjung terkesan dan informasi yang ingin diberikan sampai pada pengunjung. Kurator membuat bagaimana koleksi memiliki nilai sense of knowledge yang tinggi, namun desainer yang harus mampu menerjemahkan menjadi sense of visual.

Koleksi ditata sesuai dengan alur cerita, dapat ditempatkan di dalam vitrin atau diluar vitrin dengan memperhatikan nilai-nilai estetika dan juga faktor keamanan koleksi dan konservasi koleksi. Faktor keamanan antara lain menjaga agar koleksi tidak tercuri dengan menempatkan kamera di berbagai sudut serta menjaga dari bahaya kebakaran dengan menempatkan alarm, smoke detector (detektor asap) dan alat pemadam kebakaran. Pertimbangan kaidah konservasi juga harus diperhatikan, yaitu menjaga kondisi lingkungan dengan mengontrol temperatur, kelembaban dan cahaya dalam vitrin dan ruang pamer.

Sebagai pendukung, disekitar koleksi harus diberi label yang menceritakan latar belakang koleksi. Pembuatan label juga bukan perkara yang mudah. Label harus dibuat ringkas dan padat, sehingga dalam waktu singkat pengunjung dapat mengambil intisari dari koleksi tersebut dan pulang dengan membawa informasi.

Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam penataan adalah cahaya. Karena dengan adanya cahaya yang jatuh menimpa koleksi dapat menimbulkan apresiasi bentuk dan warna koleksi yang lebih mendalam serta menjadikan koleksi lebih menarik. Disamping itu dengan adanya cahaya, label lebih mudah terbaca terutama untuk pengunjung yang berusia tua.

Namun perlu ditekankan, cahaya yang digunakan jangan sampai merusak koleksi. Hal ini karena dari beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan pada koleksi, kerusakan akibat cahaya adalah yang paling parah. Berdasarkan pernyataan ini, sepertinya terdapat pertentangan antara penyajian yang menarik dengan kaidah konservasi koleksi. Untuk mengatasinya harus dicari jalan tengah diantaranya sehingga keduanya dapat berjalan seiringan.

Penataan vs Pencahayaan di Museum -bagian 2

II. Konsep Penataan dan Penyajian Koleksi

Telah diketahui museum didefinisikan sebagai suatu tempat penting bagi pelestarian benda budaya dan alam yang dijadikan koleksi, dirawat, dijaga dan disajikan bagi kepentingan umat manusia sekarang dan masa yang akan datang (Hari Untoro,2004). Dengan demikian, salah satu tugas pengelola museum antara lain menyajikan koleksi yang dimiliki, berupa warisan budaya yang memiliki sifat unik dan tidak dapat digantikan. Agar dapat menarik pengunjung untuk datang, maka tidak salah jika museum dibuat semenarik mungkin sehingga tidak ada kesan bahwa museum itu gudang.

Untuk membuat penyajian yang menarik, harus memiliki konsep apa yang ingin disajikan serta pendekatan apa yang akan digunakan, karena merupakan titik awal dalam membuat alur cerita yang akan dinikmati pengunjung saat berkeliling. Selain itu dibutuhkan pula kemampuan menerjemahkan apa yang menjadi konsep untuk diterapkan di dalam ruang 3 dimensi. Sehingga konsep yang tadinya hanya ada di kepala dapat diterima oleh masyarakat luas.

Sebagai contoh adalah keadaan yang terjadi di Museum Nasional sekarang. Museum Nasional pada awal berdirinya merupakan tempat penyimpanan benda-benda kuno dan sistem penyajian koleksi merupakan warisan dari jaman Belanda dan belum ada perubahan yang mendasar.

Pendekatan yang dipakai kurang jelas, misalnya pada koleksi Etnografi digunakan pendekatan berdasarkan regional wilayah-wilayah yang ada di Indonesia, namun pada koleksi-koleksi lain digunakan juga pendekatan kronologis, yaitu dalam penyajian koleksi prasejarah arkeologi dan sejarah. Selain itu terdapat juga pendekatan berdasarkan bahan, yaitu koleksi perunggu, emas, terakota dan keramik dan pendekatan berdasarkan disiplin ilmu, yaitu koleksi geografi dan numismatik (mata uang).

Seiring dengan perkembangan waktu pendekatan yang terlalu banyak ini ternyata tidak dapat lagi dipertahankan, karena terlalu banyak fokus yang diambil, sehingga tujuan semula yang ingin memberikan informasi kepada pengunjung malah tidak sampai. Pengunjung memang memperhatikan koleksi yang dipajang, tapi nuansa yang ada di balik objek itu tidak tersampaikan, dengan kata lain koleksi tidak mampu bercerita apa sebenarnya yang ada dibelakang koleksi ini. Disamping itu pula karena koleksi di dalam museum harus menyesuaikan dengan ruangan yang ada, maka ruangan museum terasa penuh dan desain tata pameran juga terlihat mengabaikan nilai-nilai estetikanya.

Maka berdasarkan hal tersebut, dengan adanya pembangunan gedung baru, konsep penataan pameran tetap museum Nasional mulai dirubah. Hal ini karena museum Nasional ingin sekali pengunjung yang datang akan pulang membawa informasi yang diperoleh. Lalu diputuskan konsep penataan yang dipilih adalah konsep tematik, yaitu semua koleksi yang di display memiliki alur cerita yang sejalan dengan pendekatan yang telah disepakati. Pendekatan yang dipakai dalam hal ini adalah ekologi budaya, yaitu di dalam kehidupan masyarakat senantiasa terdapat unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal yang disebut sebagai inti budaya yang terdiri dari masyarakat sosial, kehidupan politik dan pola kepercayaan yang selalu terikat dengan kegiatan mata pencaharian dan susunan kehidupan ekonominya. Unsur-unsur yang bersifat universal tersebut akan menampakkan evolusi yang sejajar dengan berbagai kebudayaan. Disamping inti budaya terdapat juga unsur-unsur sekunder seperti teknologi, sistem pengetahuan dan kesenian yang juga menampakkan perkembangan yang khas.

Alur cerita dibuat sesuai dengan perkembangan yang terjadi pada masyarakat. Dengan mengikuti alur perjalanan, maka pengunjung seperti dituntun untuk melihat hubungan dan perkembangan tersebut selama perjalanannya mengelilingi museum.

Dengan menata koleksi sedemikian rupa, pengunjung diajak menjelajahi dimensi waktu masa lalu, melihat dinamika kehidupan manusia dan hasil karyanya guna memahami kehidupan sosial dan sejarahnya, serta untuk memperoleh pengetahuan dan pelajaran yang baru mengenai sejarah peradaban.

PENYAJIAN DAN PAMERAN KOLEKSI MUSEUM: DILEMA PENCAHAYAAN DIANTARA PENATAAN DAN KONSERVASI


bagian pertama

Pendahuluan

Ketika pengunjung mendatangi museum, ia sudah mulai bertanya, informasi apa yang akan diperoleh dengan mengunjungi museum ini. Apabila yang dikunjungi adalah museum khusus, setidaknya ia sudah mulai memperkirakan apa yang akan ditemukan.

Misalnya saat datang ke museum tekstil, ia tahu akan menemukan banyak sekali tekstil dari berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai macam jenis dan motif. Namun ia ingin mendapatkan informasi yang lebih dari itu, antara lain gambaran mengenai perkembangan tekstil dari dulu hingga sekarang, cara membuatnya, hingga bagaimana cara pemeliharaan dan perawatannya.

Atau apabila pergi ke museum wayang, tentu di benak si pengunjung itu ingin tahu wayang apa saja yang (pernah) ada di Indonesia, daerah mana saja yang memiliki wayang, adakah perbedaan antara wayang di suatu daerah dengan wayang di daerah lain, dan juga ingin tahu bagaimana cara memainkan wayang.

Tentunya apabila informasi yang ingin dicari ternyata ada di museum yang dikunjungi, tentu pengunjung akan puas. Kepuasan itu akan bertambah apabila ternyata pengetahuan yang diperoleh lebih dari yang ia bayangkan.

Pengunjung dapat memperoleh informasi yang diinginkan hanya dengan cara berkeliling dari suatu ruangan ke ruangan lain dengan melihat dan membaca apa yang tertera di dalam ruang pamer. Artinya koleksi beserta pendukungnya telah menjalankan tugasnya sebagai pembawa informasi dan telah melakukan komunikasi yang baik dengan pengunjung. Komunikasi yang baik di dalam museum dapat terjadi apabila koleksi di ruang pamer beserta sarana pendukungnya telah ditata sedemikian baik dan jelas mengikuti konsep yang telah dibuat oleh pengelola museum.

Dengan demikian penataan dan penyajian di ruang pamer memiliki peranan penting dalam menginformasikan keberadaan koleksi yang dimiliki museum.

Namun demikian penyajian di ruang pamer ini harus tetap memperhatikan

(i) sifat koleksi sebagai benda cagar budaya, yaitu tidak dapat diperbaharui, terbatas, baik itu dalam bentuk, jumlah dan jenisnya serta mudah rusak dan

(ii) jenis koleksi, apakah terbuat dari bahan organik (kayu, kertas, lukisan, kain, bambu), atau dari bahan anorganik (logam emas, perak,tembaga, perunggu, kuningan, besi keramik, tanah liat dan batu).