Tuesday, January 19, 2010

CATATAN KECIL DARI KURSUS INTERNASIONAL COLLASIA2010 DI MUSEUM NASIONAL: 10 – 28 November 2008



Kursus International CollAsia2010 di Jakarta merupakan kursus lanjutan setelah Bangkok (2002) , Kuala Lumpur (2003), Bangkok ( 2005), Leiden (2005), Manila (2006), Hanoi (2007), Vientiane (2007) dan New Delhi (2008).

Tema untuk kursus di Jakarta adalah
Buildings : Environments for Collections atau jika di Indonesiakan dapat diterjemahkan dengan bebas Gedung : Lingkungan untuk koleksi..

Tujuan diadakannya kursus ini adalah untuk memperkuat kapasitas para peserta dalam memahami dan mengevaluasi kondisi berbagai macam jenis gedung dan untuk mengembangkan strategi dalam mencari kondisi yang sesuai untuk koleksi benda cagar budaya yang disimpan didalamnya.

Persiapan untuk kursus Jakarta dimulai sejak Museum Nasional memperoleh surat dari Direktur Jenderal ICCROM, Mr. Mounir Bouchenaki tertanggal 18 September 2008 tentang penunjukan Museum Nasional sebagai tuan rumah Kursus CollAsia2010 yang akan diselenggarakan tanggal 10 – 28 November 2008.

Kursus ini merupakan kerjasama antara ICCROM International Centre for the Study of the Preservation and Restoration of Cultural Property) Roma, SEAMEO-SPAFA (Southeast Asian Minister of Education Organization-Regional Centre for Archaeology and Fine Arts) Bangkok, Museum Nasional Indonesia dan Museum Ethnologi (Volkenkunde) Leiden. Dinyatakan pula bahwa pengumuman mengenai kursus akan diletakkan dalam website CollAsia (www.collasia2010.org) dan ICCROM (www.iccrom.org).

Untuk tujuan ini, tim lokal telah menyiapkan ruangan kelas di laboratorium konservasi lantai 5, tas CollAsia, banner, spanduk, name tag dan melakukan surat menyurat secara elektronil (melalui email) dengan para nara sumber, tim SPAFA dan ICCROM. Berdasarkan korespondesi ini, diketahui kebutuhan para pengajar saat kursus dilaksanakan dan akan dipenuhi oleh tim lokal.

Setelah peserta terpilih (yang merupakan hak perogatif ICCROM) tim lokal yang dipimpin Drs. Widodo, Kabid Konservasi dan Penyajian, mempersiapkan penyambutan para peserta, antara lain membooking hotel tempat peserta tinggal, menyusun menu untuk 3 minggu, memilih katering dan juga kordinasi dengan peserta dari Indonesia, termasuk menyebarkan surat undangan ICCROM melalui fax karena sebagian besar tidak memiliki email.

Peserta yang terpilih sebanyak 16 orang, 9 orang diantaranya berasal dari Indonesia dan 7 orang dari Asia Tenggara. Peserta dari Indonesia berasal dari Jawa dan Sumatera dan tidak saling mengenal sebelumnya. Mereka adalah Slamet ( Museum Nasional), Abasrul (Museum Propinsi Sumatera Barat), Marsiria Sebayang (Museum Propinsi Sumatera Utara), Ahmad Rapanie (Museum Propinsi Sumatera Selatan), Agus Sudaryadi (BP3 Jambi), Ari Swastikawati (Pusat Konservasi Borobudur), Dewi Yuliyanti (Direktorat Museum), dan Winarsih serta Ery Sustiyadi dari Museum Sonobudoyo.

Peserta dari Asia Tenggara adalah Nora Haji Abdul Kadir (Brunei Darussalam), Thong Bunthoeun (Kamboja), Duangchith Thammavong (Lao PDR), Arnulfo Dado (Filipina), Duc Tuan Nguyen (Vietnam) dan Patcharalada Jullapech serta Sopit Panyakhan dari Thailand.

Tim kursus yang juga
berperan sebagai nara sumber adalah Katriina Simila (ICCROM), Farideh Fekrsanati (RMV), Fransiza Toledu (arsitek Brazil) bekerjasama bahu membahu dengan tim lokal yaitu Drs. Widodo,; Sumardjo S.Pd, M.Hum,; Sutrisno, S.Pd,; Ita Yulita S.Si M.Hum dan Dyah Sulistiyani S.Si agar kursus berjalan lancar dan sukses.

Selama 3 minggu kursus, seluruh peserta dan nara sumber ditempatkan di Hotel Cipta yang berlokasi 2 km dari Museum Nasional. Setiap pagi, untuk memastikan semua peserta dan tim kursus tidak ada yang tertinggal pihak Museum Nasional menjemput ke hotel untuk dibawa ke Museum dengan menggunakan bis.

Upacara pembukaan berlangsung meriah dengan mengundang seluruh perwakilan Kedutaan negara peserta, namun hanya Filipina dan Laos yang mengirimkan wakilnya. Tidak lupa mengundang perwakilan UNESCO Jakarta dan para pejabat di lingkungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Selama kursus, teori dan diskusi sebagian besar diberikan di ruangan kelas. Sesuai dengan tema, peserta belajar mengenai objek , gedung dan interaksi diantara objek dan gedung. Beberapa teori membutuhkan praktek di berbagai galeri (ruangan pameran) di gedung lama dan gedung baru. Kedua gedung yang dimiliki oleh Museum Nasional memiliki ciri khas masing-masing untuk dipelajari sebagai pelindung koleksi. Gedung lama berasal dari masa kolonial dengan gaya gotik, memiliki jendela berukuran besar dan tidak memiliki sistem AC secara sentral..Sedangkan gedung baru merupakan perwakilan dari gedung modern dengan sistem AC yang sentral. Untuk memahami gedung lain seperti halnya rumah tradisional peserta mendapatkan sesi khusus dalam menggambar model rumah tradisional yang ada di ruang pamer. Selain itu peserta juga memahami akses dan belajar membaca desain ruangan , floor plan serta mulai mengenal istilah arsitektur dan teknik gedung.

Diawal mula kursus ,sebagian peserta agak takut dengan istilah-istilah arsitek mengingat istilah ini belum dikenal sebelumnya. Namun dengan berjalannya kursus, istilah-istilah tersebut makin familiar dan akhirnya menjadi tidak asing buat peserta yang notabene bekerja dilingkungan museum ini.

Penyusunan materi yang dimulai dari objek (koleksi) bergerak ke gedung dan kemudian kembali ke objek membuat para peserta menyadari adanya hubungan yang erat dan interaksi yang jelas antara objek dan gedung. Objek dan gedung merupakan sebuah sistem besar yang terdiri atas sistem-sistem. Jika sistem yang besar (gedung) berubah maka sistem yang kecil ( koleksi) pun akan berubah. Ini berarti apa yang berubah pada gedung museum akan memiliki dampak terhadap koleksi yang disimpan didalamnya.

Sebagai pembanding, para peserta melakukan kunjungan ke gedung yang memiliki arsitektur yang berbeda dengan Museum Nasional, yaitu Museum Tekstil dan anjungan tradisional di TMII. Dari banyak anjungan, dipilih 3 yaitu rumah Minangkabau, Rumah Aceh dan rumah Papua.
Peserta melakukan pengamatan terhadap rumah-rumah tersebut dan mengetahui bahwa bentuk rumah disuatu daerah memiliki hubungan yang erat dengan sejarah dan adat daerah tersebut.
Catatan khusus diberikan pada rumah Aceh, karena pada tsunami, rumah yang tetap berdiri dari terjangan gelombang tsunami adalah rumah yang bernbentuk panggung seperti yang dilihat di TMII ini.

Disamping itu pula untuk mengetahui situasi Jakarta di masa lalu, peserta mengunjungi kawasan kota tua untuk melihat gedung-gedung yang tersisa di daerah tersebut. Juga melihat kebudayaan Jakarta pada Festival Budaya Jakarta yang kebetulan sedang berlangsung di depan Museum Fatahillah.

Diskusi dan tanya jawab dilakukan seluruh peserta selama kunjungan ke berbagai tempat tersebut. Dan tidak lupa, untuk mempelajari budaya Indonesia, peserta belajar membatik di Museum Tekstil. Setiap peserta memperoleh kain berukuran saputangan yang telah diberi gambar. Lalu seluruh peserta mengikuti instruktur untuk mengikuti alur gambar dengan cairan malam panas. Pada akhirnya batik yang telah dibuat itu dibawa pulang oleh peserta sebagai cinderamata. Seluruh peserta menyadari betapa sulitnya dalam membuat batik tulis.

Seetelah 3 minggu, kursus ditutup secara resmi oleh Kepala Museum Nasional , Ibu Dra Retno Sulistiawati MM.
Di malam harinya diadakan malam gembira sekaligus malam perpisahan untuk setiap peserta, karena keesokan harinya satu persatu peserta meninggalkan Jakarta dan kembali bertugas di tempat masing-masing dengan membawa kesan dan pesan dari Jakarta.

Selamat Jalan, dan sampai jumpa di kursus-kursus CollAsia berikutnya.

Foto-foto:


















1 komentar:

adut said...

PENGEN JUGA SANYA KUTAN PELATIHAN INI, GIMANA CARNYA YA...aam-muslam