Tuesday, January 31, 2006

AGEN PERUSAK KOLEKSI DI MUSEUM

Museum merupakan wadah atau tempat dimana koleksi dijaga keberadaannya sehingga tetap terjaga kelestariannya.
Jangan sampai keberadaan koleksi di museum justru menjadikan kondisi koleksi makin parah. Untuk itu harus diketahui dulu, faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan pada koleksi.


Apa saja agen perusak koleksi ???

1. Gaya fisik
2. pencurian
3. Api, kebakaran
4. Air
5. serangga
6. Jamur
7. kontaminan
8. Radiasi
9.
Temperatur tidak sesuai
10. Kelembaban tidak sesuai

Faktor-faktor ini akan dibahas satu persatu

SELAMAT TAHUN BARU

Bagi mereka yang muslim, selamat tahun baru 1 Muharram 1427 H.
Semoga tahun ini menjadi tahun yang berkah dan rahmah, dan kita selalu berada di jalan yang lurus.

Amin

Saturday, January 21, 2006

Artikel kompas 14 Juli 2004

Pengembangan Museum Terkendala Tenaga Konservasi

Jakarta, Kompas - Pengembangan museum terkendala kurangnya tenaga ahli di bidang konservasi (perawatan dan pelestarian). Padahal, agar museum tidak lagi sekadar menjadi "gudang penyimpanan", tetapi lebih evokatif atau mampu menggugah rasa pengunjung, langkah awalnya adalah jaminan konservasi terhadap koleksi bersejarah.

"Penyajian koleksi benda di museum kita sejauh ini masih menggunakan display puluhan tahun lalu. Hanya saja, untuk mengembangkan penyajiannya, harus memindahkan letak, bahkan mengeluarkan koleksi dari kotak kaca agar dapat langsung dinikmati. Ini berisiko menimbulkan kerusakan koleksi, terutama yang berusia ratusan tahun," kata Hari Untoro Drajat, Deputi Sejarah dan Kepurbakalaan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Sabtu (10/7).

Hal itu diungkapkannya seusai pembukaan Training on Conservation, Preservation and Management of Museum Collection di Museum Nasional bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Perancis di Jakarta. Peserta pelatihan datang dari berbagai museum di Indonesia.

Seperti dikatakan staf konservasi Museum Nasional, sekaligus pembicara dalam pelatihan itu, Ita Yulita, tenaga di bidang tersebut belum memadai. Koleksi Museum Nasional yang jumlahnya berkisar 120.000-140.000 misalnya, baru ditangani oleh 10 tenaga konservasi.

"Untuk menyentuh koleksi yang sama agar mendapatkan penanganan konservasi, saya membutuhkan waktu dua atau tiga tahun. Padahal, seharusnya minimal setiap satu tahun masing-masing koleksi harus ditangani agar diketahui perkembangan kondisinya," katanya.

Keterbatasan tenaga itu menyebabkan petugas Museum Nasional menetapkan prioritas pada koleksi yang rusak atau terkena penyakit.

Hal senada diungkapkan Ery Sustiyadi dari Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Sekitar 8.000 koleksi di sana ditangani juga oleh 10 orang. Itu pun belum semua tenaga memiliki keahlian untuk konservasi.

"Selama ini konservasi dilakukan berdasarkan kebiasaan turun-temurun. Koleksi keris, misalnya, di-warangi atau dicuci dengan air jeruk. Padahal, sebelum ada perlakuan terhadap benda koleksi seharusnya ada penelitian terlebih dahulu untuk mengetahui reaksi zat- zat tertentu. Bisa jadi zat itu justru perlahan menyebabkan kerusakan koleksi yang tidak ada gantinya," katanya menjelaskan.

Jalin kerja sama

Hari Untoro mengatakan, pemerintah telah dua kali bekerja sama dengan Perancis untuk pelatihan tenaga konservasi. Dengan kekayaan peninggalan kebudayaannya, negara itu dianggap maju dalam konservasi dan penyajian di museum.

Adanya pelatihan itu diharapkan mempercepat ketersediaan tenaga konservasi sehingga dapat segera dilakukan desain ulang terhadap penyajian koleksi museum.

Gilles Garachon dari Kedutaan Besar Perancis untuk Indonesia menambahkan, konservasi tetap yang utama bagi sebuah museum. Namun, setelah itu penyajian benda koleksi yang terkait dengan display harus mendapat perhatian.

"Jika penyajian tidak menarik, maka koleksi di museum tidak akan diapresiasi oleh masyarakat. Padahal, museum merupakan memori untuk mengetahui diri sendiri dan membangun di kemudian hari," paparnya. (INE)


Search :

Pertimbangan Dalam Melakukan Kegiatan Konservasi Koleksi di Museum Nasional

Pertimbangan Dalam Melakukan Kegiatan Konservasi Koleksi di Museum Nasional

Fungsi Museum antara lain sebagai penghubung antara masyarakat dengan benda cagar budaya yang biasa disebut dengan koleksi, yaitu bagaimana museum dapat memanfaatkan koleksi yang dimiliki untuk menarik minat masyarakat agar datang ke museum dan menikmati koleksi. Selain itu museum juga memiliki kewajiban bagaimana koleksi – koleksi yang dimiliki tetap aman dan terlindungi di dalam museum. Jangan sampai di dalam museum, yang justru harus terlindungi malah timbul kerusakan baru akibat salah simpan atau salah dalam penanganannya.
Bagian yang menangani perlindungan dan preservasi koleksi di Museum Nasional adalah Seksi Konservasi dan Restorasi, pada Bidang Konservasi dan Penyajian. Dalam setiap kegiatannya staf seksi konservasi (sering disebut sebagai konservator) berusaha keras agar dalam bekerja tidak menimbulkan kerusakan baru. Paradigma melindungi koleksi selalu membayangi setiap kegiatan yang dilakukan.
Kegiatan teknis konservasi yang selama ini dilakukan langsung pada koleksi, seperti penghilangan debu, pengurangan korosi, penyemprotan rayap sebenarnya merupakan bagian dari seluruh kegiatan konservasi benda cagar budaya di museum. Kegiatan lainnya adalah konservasi preventif yang bertujuan untuk memperpanjang hidup koleksi, yaitu dengan cara mengetahui apa penyebab kerusakan pada koleksi, dan mengerti bagaimana bisa terjadi kerusakan. Terakhir, yang dapat dikelompokkan dalam konservasi adalah konservasi sebagai ilmu (ilmu konservasi, sains). Menurut Chiari dan Leona pada bidang ini konservasi dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian yaitu; (1) arkeometri, mempelajari benda-benda budaya termasuk yang ada di museum untuk tujuan mengetahui apa materialnya (terbuat dari apa), kapan koleksi dibuat, dimana dibuat dan bagaimana peralatan itu dibuat; (2) Studi mengenai perubahan yang terjadi pada koleksi dan apa yang menyebabkan terjadinya degradasi, dan (3) Pengembangan, yaitu kemampuan dalam menciptakan atau memodifikasi peralatan yang sudah ada untuk dapat digunakan dalam kegiatan konservasi. Setelah diketahui betapa pentingnya peranan konservasi dalam mempertahankan kelangsungan hidup koleksi yang ada dalam museum, perlu diketahui tindakan-tindakan yang dilakukan konservator dalam melakukan kegiatannya.
Kegiatan konservasi koleksi museum dilakukan dengan pertimbangan -pertimbangan yang benar, artinya konservator telah tahu resiko yang akan dihadapi jika terjadi kesalahan. Hal ini karena jika kita salah melakukan tindakan, bisa jadi akan timbul kerusakan yang baru dan kemungkinan nilai sejarah yang terkandung didalamnya akan hilang.
Penting dilakukan pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan sebelum melakukan tindakan konservasi, yaitu: bahwa yang dilakukan adalah lebih bersifat konservasi jangka panjang, dan sebelum melakukan kegiatan telah diketahui jenis bahan apa yang ada pada koleksi, serta mengapa dan bagaimana koleksi dapat mengalami kerusakan saat disimpan di museum, dan bagaimana kita mengatasi kerusakan tersebut. Ketika melakukan tindakan konservasi sebaiknya lebih diterapkan pendekatan penyelesaian masalah (problem solving) daripada pendekatan resep (recipe approach) karena setiap objek unik dan tidak ada satu penyelesaian untuk mengatasi semuanya (no one right solution).
Latar belakang pemikiran tersebut adalah untuk dapat memutuskan tindakan apa yang akan dan harus dilakukan, tindakan apa yang tidak akan dilakukan pada koleksi. Dan keputusan yang diambil (melakukan atau tidak) telah memiliki alasan yang masuk akal.
Kegiatan pertama yang dilakukan adalah melakukan prosedur diagnostik kerusakan dengan dilatari pengetahuan-pengetahuan antara lain; apa koleksi kita, terbuat dari apa, apakah berasal dari bahan organik (material dari tumbuhan dan hewan) atau anorganik (mineral, logam), bagaimana lingkungannya; mengapa dan bagaimana dapat terjadi kerusakan, apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasi kerusakan dan bagaimana kita melindungi agar terhindar dari kerusakan.

Tahu koleksi dan teknik pembuatannya
Sebagai pekerja yang selalu bergaul dengan koleksi, pengetahuan mengenai jenis bahan dan teknik pembuatan sangat penting untuk diketahui. Koleksi yang berasal dari bahan organik berbeda sifatnya dengan koleksi anorganik. Koleksi yang terbuat dari bahan organik lebih rapuh daripada koleksi anorganik karena lebih rentan dan mudah dipengaruhi lingkungan. Pengetahuan mengenai teknik atau cara koleksi tersebut dibuat juga menjadi dasar dalam melakukan tindakan konservasi. Jangan sampai apa yang dilakukan justru membuat koleksi rusak.

Tahu gedung dan lingkungannya
Pengetahuan mengenai gedung, konstruksi dan lingkungannya sangat membantu konservator dalam melakukan kegiatannya. Koleksi museum yang berada di dalam museum, dapat kita anggap disimpan di dalam kotak, dimana kotak tersebut berada dalam kotak yang lebih besar.
Dengan demikian, kita dapat mengetahui lingkungan yang berada di sekitar koleksi. Lingkungan mikro, adalah lingkungan yang langsung mengenai koleksi, seperti ruangan vitrin dan lingkungan makro, yaitu lingkungan di dalam dan luar gedung. Juga perlu diketahui bagaimana konstruksinya, apakah terbuat dari kayu, batu atau beton, terdapat kaca atau tidak. Bagaimana orientasi terhadap matahari, bagaimana pengaruh hujan terhadap koleksi yang ada di dalam ruangan. Apakah ada tempiasan dari hujan dsb.
Perlu diketahui juga bagaimana akses terhadap lingkungan luar, bagaimana kondisi pintu, jendela, ventilasi, apakah memiliki ukuran besar, kecil, sehinga tahu kemana arah angin bertiup. Selain itu harus diketahui pula bagaimana lingkungan disekitar : jalur air (pipa), polusi, tahu darimana asalnya uap air.
Konservator perlu mengetahui dimana koleksi tersebut diletakkan, apakah didalam ruang pamer, didalam vitrin atau diluar vitrin, atau didalam ruang penyimpan. Hal ini karena letak asal koleksi berpengaruh pula pada cara konservator melakukan tindakan.


Tahu mengapa dan bagaimana dapat terjadi kerusakan pada koleksi
Kerusakan pada koleksi di museum dapat terjadi karena adanya faktor kerusakan, yaitu pertama faktor Iklim yang tidak sesuai, disebabkan fluktuasi temperatur dan kelembaban relatif (RH) pada lingkungan disekitar koleksi. Koleksi organik lebih bereaksi dengan kelembaban disekitarnya karena pada koleksi organik mengandung sejumlah air di dalamnya, dan selalu berusaha menyeimbangkan dengan kandungan uap air yang ada di sekitarnya.
Faktor kedua adalah cahaya, yang bersifat kumulatif. Sinar ultraviolet pada cahaya akan merubah struktur dari material dan sinar inframerah dapat membakar material karena sifatnya yang lebih panas. Kerusakan akibat cahaya pada koleksi museum tergantung dari jenis koleksinya. Koleksi anorganik tidak sensitif terhadap cahaya kecuali jika pada permukaannya terdapat cat atau vernish akan menjadi sensitif. Sedangkan koleksi organik sensitif terhadap cahaya dengan tiga tingkat sensitivitas, yaitu : sensitif (koleksi lukisan, kayu, kulit), sangat sensitif (kertas, tekstil) , dan sangat sangat sensitif (koleksi foto).
Faktor kerusakan yang ketiga berasal dari lingkungan, seperti serangga, jamur, lumut, Hewan (burung, tikus), polusi udara, dan debu.
Faktor terakhir, yang sering tanpa disadari adalah manusia. Seringkali kerusakan ditimbulkan karena tidak hati-hatinya pekerja museum dalam memegang dan membawa koleksi saat dipindahkan, atau pun ketika melakukan kegiatan konservasi. Staf konservasi telah dibekali ilmu dalam melakukan kegiatannya, sehingga kerusakan akibat salah memegang (terutama kerusakan fisik) dapat diminimalisasi.

Setelah mengetahui faktor- faktor yang dapat menimbulkan kerusakan, konservator mengetahui apa yang semestinya dilakukan, yaitu dengan mengurangi faktor-faktor yang menimbulkan kerusakan sehingga kerusakan tidak muncul kembali.




Tindakan konservasi

Sebelum melakukan tindakan konservasi perlu difikirkan apakah yang akan dilakukan akan memiliki efek pada 100 -200 tahun yang akan datang. Intinya, apa yang akan kita lakukan saat ini, akankah berpengaruh pada koleksi di masa yang akan datang. Apakah koleksi yang dikonservasi tersebut akan berubah pada 100 tahun yang akan datang. Hal ini penting dilakukan karena jika terjadi perubahan pada koleksi disebabkan perlakuan sekarang, maka di masa yang akan datang makna dan nilai koleksi akan berubah dan kita akan kehilangan nilai yang sebenarnya dari koleksi.
Dalam melakukan kegiatannya, prosedur yang harus dilakukan yaitu mencatat kondisi koleksi (condition report), melihat kerusakan dan menganalisis kerusakan dengan mempertimbangkan faktor-faktor kerusakan diatas. Setelah dianalisis, diambil keputusan tindakan apa yang akan dilakukan , atau tidak melakukan kegiatan apapun untuk mengatasi kerusakan tersebut.

Ketika sebuah koleksi diterima oleh staf konservasi, dilakukan pengamatan yang menyeluruh. Apakah hanya akan dilakukan restorasi, apakah akan dilakukan tindakan preventif dan atau kuratif, atau semua dilakukan, atau justru tidak melakukan apa-apa.


Apakah kerusakan yang ada pada koleksi saat ini ini berbahaya untuk kelangsungan hidup koleksi itu sendiri? Apakah terdapat bagian yang lepas, longgar dan sebagainya.

Apakah kegiatan / treatment konservasi yang akan dilakukan pada koleksi sangat penting untuk dilakukan saat ini (dengan catatan resiko yang akan didapat telah diketahui).


Konservasi kuratif dilakukan apabila memang diperlukan. Untuk tindakan perwatan sebaiknya dipilih konservasi preventif, yang dilakukan untuk mengurangi penyebab dari kerusakan / deteriorasi. Kegiatan konservasi preventif ini dilakukan secara langsung pada koleksi atau tidak langsung dengan cara memodifikasi lingkungan dimana koleksi itu berada.
Pada akhirnya, meskipun beban perawatan koleksi merupakan tugas dan tanggungjawab seksi konservasi, namun sebenarnya perlindungan koleksi yang ada di museum merupakan tanggungjawab seluruh karyawan museum. Untuk itu mari kita bahu membahu dalam merawat dan melindungi koleksi, karena hal ini merupakan tanggungjawab kita untuk meneruskannya kepada generasi yang akan datang.

Jakarta, Desember 2005

KEGIATAN WORKSHOP KONSERVASI TEKSTIL DI LEIDEN





Edisi Bahasa Indonesia

Bulan Agustus 2005, workshop konservasi koleksi tekstil yang merupakan bagian dari program Collasia 2010 dibuka. Saya mengikuti kegiatan ini sebagai asisten pengajar sedangkan untuk pesertanya dipilih rekan saya, Hari Budiarti, juga berasal dari Museum Nasional. (Pada program CollAsia di Thailand bulan Januari 2005 saya sebagai peserta. Ketika itu temanya adalah Exhibit Conservation atau Konservasi koleksi pada Pameran).
Sebagai salah satu dari asisten pengajar, saya memiliki tugas dan tanggungjawab sebagai berikut:
- mempersiapkan sarana dan prasarana sebelum dan sesudah kursus berlangsung
- mendampingi peserta dalam melakuka diskusi kelompok
- Membuat kartu nama/bussiness card untuk peserta yang tidak memiliki kartu.
- Membuat dokumentasi kegiatan untuk diserahkan kepada panitia/organizing commitee, yaitu untuk ICCROM (Roma), SPAFA (Thailand) dan RMV (museum Ethnology) selaku tuan rumah
- menjadi asisten pendamping RMV dalam melayani kebutuhan peserta dilingkungan RMV.


Diary workshop

Senin / 22 Agustus 2005
Sebagai asisten kursus,mulai mempersiapkan objek yang akan digunakan sebagai bahan diskusi selama workshop. Barang-barang tersebut merupakan kumpulan koleksi tekstil yang sengaja di beli di pasar daerah Thailand, Indonesia dan Filipina. Namun karena ingin memberi kesan sebagai barang koleksi untuk peserta, dan juga untuk menjaga agar tidak ada kontaminasi dari negara tersebut masuk ke RMV, maka koleksi tersebut dimasukkan ke dalam ruang karantina. Di dalam ruang karantina koleksi dipilih lagi, dan untuk koleksi yang memiliki jejak / sisa insek, koleksi dimasukkan ke dalam kantung plastik dan kemudian dimasukkan dalam freezer dengan suhu minus 24oC. Proses ini disebut deep freezing. Maksud dari proses ini adalah agar insek yang kemungkinan masih ada pada tekstil akan mati pada suhu dingin. Proses ini berlangsung hingga 24 jam.

Selasa / 23 Agustus
Mengambil koleksi dari freezer, dan kemudian menempatkan di dalam ruang karantina dengan suhu normal. Kegiatan ini dimaksudkan agar koleki beradaptasi dengan suhu kamar / suhu ruang yang ada di RMV. Kegiatan ini juga dimaksudkan agar tidak terjadi proses tegang/ regangan pada tekstil, karena adanya perubahan cuaca yang cukup drastis dari iklim tropis ke iklim dingin. Selain itu juga sebagai asisten kursus, mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung seperti kartu peserta, pass masuk museum , alat-alat tulis, ruangan dan obat-obatan.

Rabu / 24 Agustus
Kegiatan dimulai dengan acara pidato pembukaan oleh Graeme Scott selaku tuan rumah dan Katriina Simila sebagai wakil dari ICCROM dan melakukan tur keliling RMV.
Graeme Scott memaparkan kondisi RMV 15 tahun yang lalu yang sama dengan hampir kebanyakan museum di Asia Tenggara, namun dengan sebuah rencana (Delta Plan) maka penataan museum dan storage yang baru dapat terwujud. Siang hari kegiatan dilanjutkan dengan perkenalan diantara sesama peserta, asisten dan pengajar. Kegiatan diakhiri dengan pemberian materi dan tujuan kegiatan kursus, terutama modul 1 dan modul 2 yaitu antara lain:
- membuat jaringan yang profesional antara konservator se Asia Tenggara
- untuk mengetahui pengertian tekstil, materi dan sifatnya
- penekanan bahwa pekerja museum adalah agen yang aktif terhadap koleksi
- untuk mempelajari bahwa object memiliki arti yang berbeda
- Mempelajari biografi koleksi dan bagaimana hal ini dapat mempengaruhi dalam membuat dokumentasi, melakukan konservasi dan memamerkan koleksi.

Kamis / 25 Agustus
dimulai dengan mengidentifikasi pakaian yang digunakan, yaitu material, teknik dan asal dari tekstil tersebut. Seringkali material diberikan dengn nama yang berbeda, padahal sebenarnya sama. Lalu peserta dibagi menjadi 4 grup, dan dilakukan aktivitas dengan cara menyebarkan koleksi pada masing-masing grup, dan tiap grup menentukan koleksi mana yang termasuk tekstil, mana yang tidak. Lalu kemudian tiap grup mengidentifikasi dan melakukan presentasi kepada semua orang, mengapa mereka mengkategorikan sebagai tekstil, dengan alasan yang masuk akal dan logis. Siang harinya didiskusikan kembali, dan peserta sepakat, yang dimaksud tekstil adalah jika dipintal dan bersifat fleksibel. Tekstil bukan berarti apa yang bisa dikenakan. Untuk itu dalam bekerja di museum pendefinisian tekstil tidak kaku, tergantung dari museum bagamana mengklasifikasi koleksi.

Jumat / 26 Agustus
dimulai dengam perkenalan tentang meeting 3 tahunan ICOM CC yang akan berlangsung di Denhaag. Meeting ini juga menjadi ajang peserta bertemu dengan para kolega dari seluruh dunia. Untuk itu identitas diri seperti kartu nama / bussiness card sangat penting. Peserta juga diajarkan dalam proses menenun yang sangat sederhana menggunakan alat tenun dari karton. Dalam melakukan kegiatan tersebut, peserta menyadari bahwa dalam membuat tekstil itu tidak gampang, dengan demikian pekerja museum akan makin menyadari dan menghargai koleksi tekstil yang ada di museum masing-masing. Peserta juga diberikan pengertian mengenai perbedaan filamen dan fiber.
Kegiatan dilanjutkan dengan dokumentasi koleksi. Sebuah koleksi ditempatkan ditengah-tengah jauh dari peserta. Setiap peserta membuat dokumentasi dan menggambar apa yang dilihat dari tempat duduknya. Karena berada pada tempat yang berbeda, hampir semua peserta memiliki persepsi yang berbeda terhadap benda yang dilihatnya. Kegiatan ini melatih kesadaran bahwa dalam membuat dokumentasi koleksi harus melihat koleksi seutuhnya, sehingga kita tahu apa dan bagaimana sebenarnya koleksi tersebut.
Kegiatan dilanjutkan dengan presentasi Dinah Eastop dari Tekstil Conservation Centre Southampton Inggris mengenai Haddon string figure, yang bercerita bagaimana preservasi objek, tidak hanya tangible tetapi juga intangible heritage. Selanjutnya dilakukan presentasi Farideh Fekrsanati dari RMV mengenai pendokumentasian di RMV, ada tiga level, level dasar, diisi oleh registrar , level A diidsi oleh curator ethnografi, dan level B diisi oleh conservator. Kegiatan dilanjutkan dengan melakukan latihan pembuatan dokumentasi pada koleksi. Peserta dibagi kelompok yang terdiri atas 2 orang. Lalu dilakukan pula dokumentasi pada koleksi yang ada di Galeri Indonesia. Tiap kelompok memilih 2 koleksi tekstil, lalu kemudian cari dokumentasi yang ada pada koleksi tersebut, dan mengapa memilih koleksi tersebut. Ternyata alasan memilih koleksi adalah berdasarkan desain, teknik dan makna yang ada pada koleksi.

Sabtu / 27 Agustus
sebenarnya hari Libur. Namun pagi harinya dimanfaatkan untuk mengunjungi museum Hortus Botanicus, yaitu Kebun Raya yang ada di Leiden. Kegiatan di dalam Hortus Botanicus adalah mencari pohon-pohon yang merupakan asal pembuatan tekstil, seperti pisang, palem kapas dan sebagainya.

Senin / 29 Agustus,
pagi hari Katriina Simila mengulas minggu lalu adalah pelajaran mengenai apa itu tekstil. Dan pada minggu ini adalah mengerti mengapa koleksi tekstil tersebut menjadi koleksi museum dan mengapa koleksi tekstil yang ada di Museum ini sangat penting. Pelajaran selanjutnya adalah dari Dinah Eastop mengenai konsep ide dari biografi objek. Biografi berarti riwayat hidup koleksi. Dalam melakukan konservasi koleksi, biografi objek sangat penting karena menjadi dasar dalam melakukan konservasi dan preservasi terhadap koleksi.Sore hari kegiatan dilanjutkan dengan presentasi setiap peserta mengenai museum dan koleksinya, serta misi dan visi dari museum tempat mereka bekerja.

Selasa / 30 Agustus
kegiatan dimulai dengan melakukan diskusi mengenai SE Asian textile collections dan tantangannya. Disini ditekankan tantangan bukan permasalahan (karena hal ini berakibat pada kinerja konservator) antara lain :
- kurangnya tenagakerja yang profesional
- kurangnya informasi mengenai pengaruh iklim tropis pterhadap koleksi,
- kasus storage yang ruangan tidak pernah bertambah namun koleksi nya bertambah terus
- mengenai AC yang hanya dinyalakan pada jam kerja.
Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan presentasi Dinah Eastop mengenai nilai dari noda dan kerutan pada tekstil. Seringkali ternyata koleksi tersebut di simpan di museum karena adanya noda atau karena kerutannya. Dalam melakukan pembersihan terhadap noda, harus ada keputusan yang profesional dalam menanganinya. Apakah memang perlu dibesihkan dan dihilangkan, dan apa kerugian dan keuntungan yang dapat diambil jika dibersihkan. Keadaan ini dapat menjadi bahan diskusi antara konservator dan kurator.
Siang hari dipertunjukkan film Angkor Wat dan Toy Story 2. Pada film Aggkor Wat diperlihatkan bagaimana komunitas masyarakat setempat mempengaruhi nilai dari koleksi, dan pada Toy Story 2 dipelajari bagaimana sulitnya mengambil keputusan, kapan koleksi tersebut menjadi koleksi museum atau hanya dianggap sebagai bagan dari komunitas anak-anak.

Rabu / 31 Agustus adalah melakukan diskusi tentang Angkor Watt dan Toy Story 2. Lalu dilanjutkan dengan kunjungan ke galeri Amerika dan Jepang dan membuat list mengenai penyebab rusaknya koleksi, dan juga mengantisipasi bagaimana konservasi jangka panjangnya.
Disamping itu juga mengidentifikasi 3 faktor kerusakan dari 9 faktor kerusakan pada koleksi yang akan didiskusikan. Faktor-faktor kerusakan nya antara lain; insect, cahaya, perubahan cepat pada RH, temperatur, storage, polusi, faktor manusia, bencana alam, kurang budget, debu, jamur, peminjaman dan transportasi, kondisi objek itu sendiri, fotografi dan salah penganan selama dokumentasi, pemakaian secara fungsional atau display, dan kualitas material yang buruk. Dalam melakukan aktivitas konservasi perlu dilakukan dokumentasi pada koleksi kenapa kita mumeutuskan melakukan hal ini. Hal ini sangat perlu untuk masa depan dari objek itu sendiri.
Kegiatan dilanjutkan dengan presentasi Dinah mengenai Penyebab kerusakan pada koleksi tekstil. Ada 4 jenis kerusakan pada koleksti tekstil, yaitu :
- Kerusakan fisik dan mekani, misalnya robek atau lubang
- Kerusakan kimia, misalnya karena pengaruh cahaya yang dapat dilihat dibawah mikroskop
- Kerusakan biologi, akibat adanya insect
- Dan kerusakan budaya, yaitu adanya perubahan pada tekstil karena terkontaminasi pestisida.
Kerusakan pada tekstil seringkali merupakan kombinasi dari jenis kerusakan diatas dan merupakan kondisi yang kompleks. Kerusakan pada tekstil dapat terjadi karena:
- Faktor inherent, yaitu penyebab kerusakan yang berasal dari koleksi itu sendiri dan
- Faktor eksternal, yang berasal dari luar seperti cahaya, kelembaban relatif dan transportasi
- Gabungan faktor internal dan eksternal.
Grup kemudian pergi ke Textile research Center yang berada dalam komplek RMV dengan direkturnya Dr. Gillian Vogelsang-Eastwood.
Kemudian dilakukan aktivitas dalam grup sesuai dengan kelompokmya. Kegiatan ini bertujuan mencari kerusakan yang ada padat iap objek dan bagaimana mengatasinya. Setelah itu ke Gallery dan mencari kerusakan yang ada koleksi di GAllery dan bagaimana penaganannya

Kamis / 1 September
dimulai dengan melakukan presentasi Dinah yaitu mengapa harus dilakukan pembersihan (cleaning). Kita harus menganalisis debu dan noda yang ada pada tekstil, baru kemudian memutuskan, apakah harus diberishkan. KIta harus tahu mengapa harus dibersihkan. Untuk koleksi yang memiliki bau yang tidak sedap, apakah harus dibersihkan kita harus juga mempertimbangkan efeknya terhadap konservasi dan pameran. Bisa jadi bau tersebut merupakan tanda dari adanya kerusakan pada koleksi.
Dinah melanjutkan presentasi dengan mengapa harus dibersihkan dan pendokumentasikan alasan mengapa harus dibersihkan.. JIka noda itu adalah significan jangan dibersihkan, tapi kalaiu tidak berarti, bersihkan saja.Ada 3 tipe cleaning dalam konservasi textil, yaitu surface cleaning dengan sikat / brush, dengan pelarut atau dry cleanin dan wet cleaning atau divuvi. Pilihan yang mana dipilih tergantung dari jenis tekstil serta materi yang ada pada tekstil.
Kegiatan selanjutnya adalah presentasi Farideh mengenai cleaning di RMV. Karena RMV tidak terlau tahu bagaimana sejarah koleksi maka RMV hanya membersihkan debu secara periodik. Keputusan untuk membersihkan tergantung dari jenis objek yang akan dibersihkan. membersihkannya dengan vacuum cleaner atau sikat, dan sering menggunakan jaring. Disamping itu sebelumnya dicek dulu kestabilan dari materialnya.
Kegiatan selanjutnya adalah latihan dalam melakukan keputusan clean or not pada objek. Peserta disuruh mengamati objek, dan apa keputusan dalam melakukan pembersihan, jenis pembersihan apa yang dipilih, apa keuntungan dari membersihkan objek ini,d an apa kerugiannya. Bagaimana mengurangi resiko kerugiannya

Jumat 2 September
presentasi Foekje Boersma mengenai preservasi koleksi dan 9 agen perusak koleksi, yaitu (1) gaya fisik, (2) pencurian vandalisme, (3) kebakaran, (4) air, (5) serangga, insek, (6) kontaminats (misal debu), (7) cahaya, (8) RH dan (9) T yang tidak sesuai. Fokus utama adalah pada RH dan T yang tidak sesuai. Perubahan pada T akan menyebabkan perubahan pada RH
Selanjutnya presentasi Graeme mengenai pengalamannya dalam menangani koleksi pada iklim dan temperatur tropis.
Siang hari kegiatan dilanjutkan mengenai cahaya, lalu kemudian peserta turun ke Galleri untuk mengukur cahaya dan RH dan T serta menganalisis pengaruhnya pada koleksi.
Hari Senin tanggal 5 September 2006.
Kegiatan dimulai oleh Agnes Brokerhof dari ICN mengenai risk management. Risk merupakan kemungkinan dari kehilangan. Pada konteks budaya kehilangan nilai dari koleksi karena penyebab yang spesifik.
Pda sesi ini peserta diminta mengklasifikasikan penyebab dan efek pada 10 1 faktor, yaqitu physical force, air, api / kebakaran, kriinalitas, pest, contaminatnt, cahaya, T yamg tidak sesuai, RH yang tidak sesuai dan dissosiasi.

Kemudian membuat skenario bagaimana kerusakan itu terjadi. Kemudian menghitung skala probabilitas dan loss of values dengan menggunakan rumus yang diberikan.
Siang harinya peserta melakukan kunjungan ke storage RMV di Gravenshande.Dan melakukan risk management disana.

Selasa / 6 September
diskusi dengan Agnes mengenai Risk management dilanjutkan dengan membuat grafik dari hasil kunjungan ke Gravenshande.. Kemudian dilanjutknan dengan presentasi Agnes mengenai integrated pest management di Museum. Ada 4 penyebab tipe insek yang dapat merusak yaitu yang melubangi, yang mengigit, yang crwlwers dan yang hanya mengunjungi tetapi berjalan
Ada beberapa tahap dalam IPM, yang pertama adalah mencegah insek datang ke koleksi. HAl ini dapat berjalan dengan adanya housekeeping yang baik, menempatkan objek 15 cm dari lantai dan pemeliharaan gedung. Langkah kedua adalah menghalangi semua pintu masuk serangga. Hal ini dapat dilakukan dengan menselaing gedung, membungkus atau menutupi objek dan selalu membuajka kemungkinan objek selalu ada di ruang karantina. Kedua langkah diatas adalah tinfdakan preventive konservation.
LAngkah yang ke tiga adalah mendeteksi kerusakan pada koleksi. HAl ini mungkin dengan jalan inspelsi visual, menggunakan trap, mengidentifikasi jenis insek ,menentukan aktivitas dan mendokumentasi hasil temuan. Langkah ke empat adalah untuk mengkondisikan insek yang ada pada objek agar tidak menyebar atau melakukan kerusakan lebih jauh pada koleksi., Dapat dilkukan engan cara tahu bagian objek yang terkena, mengisolasi objek yang terkena dan mengetahui sumber darimana insek berasal. LAngkah yang keloima adalah melakukan traetment melalui pest control dan metode toksi dan non toksik metode. Non toxic menggunakan low tempeartur, hihg tempertaur dn low oksigen. Pemilihan metode tergantung dari kondisi objek, tipe insek, kecepatan kerusakan dan efisiensi. JIka insek ada dalam objek paling baik adalah melakukan penetrasi langsiung pada objek. jika insek hanya melakukan kunjungan maka ruangan juga diteatment.
Kegiatan dilanjutkan dengan membuat kantong untukkk high temperatur insek yang bisa dilakukan di negara masing-masing.

Rabu tanggal 7 September
melakukan presentasi Mengenai keputusan dipamerkan atau tidak sebuah koleksi ditinjau dari sudut etnografi. Sesi berikutnya adalah kasus bendera milik bekas presiden Filipia Manuel Roxas yang dipinjam dari Museum Manuel Roxas Filipina. Semua peserta diminta menilai bendera dan memberikan argumentasi apa yang akan dilakukan noda yang ada pada bendera. Apakah harus dibersihkan atau tetap dipertahankan. Jika akan dibersihkan tindakan apa yang akan dilakukan.
Siang harinya grup mengunjungi gedung penyimpan (storage) di Gravenshande, dan melakukan tur mengunjungi storage dipimpin Graeme Scott. Peserta menanyakan fasilitas yang dimiliki RMV.

Kamis 8 September
dilakukan di RMV mengenai preservasi tekstil yang digunakan sebagai kostum. Karena seringkali dalam pemakaiannya tekstil tersebut mengalami ketegamngan ketika dipakai.
Hari Jumat tanggal 9 September dilakukan evaluasi selama workshop berlangsung. Peserta memberikan masukan kepada panitia apa yang telah didapat selama kursus berlangsung.
Pada hari ini juga Ita Yulita sebagai asisten kursus memberikan presentasi mengenai apa yang telah dilakukan setelah pulang dari kursus di Bangkok, dan apa yang diterapkan dan mengapa hal ini bisa diterapkan

Senin tanggal 12 September hingga Jumat tanggal 17 September
mengikuti ICOM CC meeting di Denhag. Meeting ini merupakan meeting ke 14 dan diikuti oleh hampir 1000 peserta dari 75 negara di dunia.

Hari Sabtu tanggal 18 September
seluruh kegiatan ditutup dengan resmi dengan pidato singkat dari direktru RMV dan pemberian sertifikat kepada peserta oleh directur ICCROM

Review of CollAsia 2010, Leiden, textile workshop




It was like moving Asia when seventeen participants and three course assistants from museums in Southeast Asia and South Korea were gathered at the National Museum of Ethnology in Leiden, The Netherlands from 24th of August to 17th of September 2005, attending a course on Conservation of Textiles in Southeast Asian Collections .

This was the second international workshop within CollAsia 2010. CollAsia 2010 is a 7-year programme planned for implementation from 2004 to 2010 to improve the conditions for the conservation of heritage collections in 10 Southeast Asian countries, namely Brunei Darussalam, Cambodia, Indonesia, Lao PDR, Malaysia, Myanmar, Philippines, Singapore, Thailand, and Vietnam (http://www.collasia2010.org).
Partner Istitutions were ICCROM (International Centre for the Study of the Preservation and Restoration of Cultural Property), based in Italy and SEAMEO-SPAFA (Southeast Asian Ministers of Education Organization-Regional Centre for Archaeology and Fine Arts), based in Thailand as well as the Getty Foundation and the National Museum of Ethnology in Leiden. The first course was held in Bangkok in January 2005 on Conservation and Exhibition of Southeast Asian Collections. For the second course the location was chosen in the Netherlands, thus outside of South East Asia, in order to enable and include the participation of the course attendies at the 14th triennial meeting of ICOM_CC in The Hague.

It was a proud moment for us, we were here talking about asian textiles. Discussing how to care and preserve the collections, how to gather information and to share knowledge and experience thousands of miles away from Asia where the climate is very different. We also had the opportunity to learn and share information with staff from the National Museum of Ethnology and other dutch institutions such as the Instituut Collectie Nederland (ICN).
The three and a half week long course aimed at improving the capacity of professionals working with Southeast Asian textile collections to devise long-term conservation strategies. We learned not only what a textile is, but more importantly why and how is it deteriorating, and what can we do, how do we care for the collections?
We started with the beginning, trying to spinn thread with cotton. We learned how to weave using a small loom made of a postcard and strings, and we realized that weaving was not easy. This developed more respect for our collections and a deeper understanding of the work involved in the production of objects within our collections. We also learned about the messages and information contained in textile objects and their significance. We learned that if objects change and their meanings change, these changes affect how we document, conserve and exhibit the textiles.

At the end of the course we realized that there is no one right solution but that it is our task to think about what to do within our own institutions. We have to decide –of course within reason - what to do and what not to do with our textile collections, understanding that sometimes to do nothing may be the better choice.

At this place I also want to thank our resources persons: Katriina Simila (ICCROM), Dinah Eastop (Textile Conservation Centre, UK), Graeme Scott (RMV), Farideh Fekrsanati (RMV), Agnes Brokerhof (ICN) and Foekje Boersma.


Ita Yulita (Course assistant in Leiden and participant in Bangkok)
Conservator
National Museum Indonesia, Jakarta
Email : yulita_conserv@yahoo.co.id



Salam perkenalan


Hallo,

Blog ini ditujukan sebagai wadah informasi mengenai pemeliharaan dan pelestarian benda atau koleksi museum, yang akan disajikan secara ringan namun tetap bermutu.

Harapan saya dengan adanya blog ini maka ilmu yang saya punya dapat dipergunakan oleh mereka yang membutuhkan, dan disamping itu juga ikut membantu pemerintah dalam memotivasi masyarakat mencintai kebudayaannya sendiri.

Mudah-mudahan setitik jejak yang akan saya tuangkan dalam blog ini dapat mewarnai dunia permuseuman yang ada di Indonesia.

Semoga.

Ita Yulita