Saturday, January 21, 2006

Artikel kompas 14 Juli 2004

Pengembangan Museum Terkendala Tenaga Konservasi

Jakarta, Kompas - Pengembangan museum terkendala kurangnya tenaga ahli di bidang konservasi (perawatan dan pelestarian). Padahal, agar museum tidak lagi sekadar menjadi "gudang penyimpanan", tetapi lebih evokatif atau mampu menggugah rasa pengunjung, langkah awalnya adalah jaminan konservasi terhadap koleksi bersejarah.

"Penyajian koleksi benda di museum kita sejauh ini masih menggunakan display puluhan tahun lalu. Hanya saja, untuk mengembangkan penyajiannya, harus memindahkan letak, bahkan mengeluarkan koleksi dari kotak kaca agar dapat langsung dinikmati. Ini berisiko menimbulkan kerusakan koleksi, terutama yang berusia ratusan tahun," kata Hari Untoro Drajat, Deputi Sejarah dan Kepurbakalaan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Sabtu (10/7).

Hal itu diungkapkannya seusai pembukaan Training on Conservation, Preservation and Management of Museum Collection di Museum Nasional bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Perancis di Jakarta. Peserta pelatihan datang dari berbagai museum di Indonesia.

Seperti dikatakan staf konservasi Museum Nasional, sekaligus pembicara dalam pelatihan itu, Ita Yulita, tenaga di bidang tersebut belum memadai. Koleksi Museum Nasional yang jumlahnya berkisar 120.000-140.000 misalnya, baru ditangani oleh 10 tenaga konservasi.

"Untuk menyentuh koleksi yang sama agar mendapatkan penanganan konservasi, saya membutuhkan waktu dua atau tiga tahun. Padahal, seharusnya minimal setiap satu tahun masing-masing koleksi harus ditangani agar diketahui perkembangan kondisinya," katanya.

Keterbatasan tenaga itu menyebabkan petugas Museum Nasional menetapkan prioritas pada koleksi yang rusak atau terkena penyakit.

Hal senada diungkapkan Ery Sustiyadi dari Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Sekitar 8.000 koleksi di sana ditangani juga oleh 10 orang. Itu pun belum semua tenaga memiliki keahlian untuk konservasi.

"Selama ini konservasi dilakukan berdasarkan kebiasaan turun-temurun. Koleksi keris, misalnya, di-warangi atau dicuci dengan air jeruk. Padahal, sebelum ada perlakuan terhadap benda koleksi seharusnya ada penelitian terlebih dahulu untuk mengetahui reaksi zat- zat tertentu. Bisa jadi zat itu justru perlahan menyebabkan kerusakan koleksi yang tidak ada gantinya," katanya menjelaskan.

Jalin kerja sama

Hari Untoro mengatakan, pemerintah telah dua kali bekerja sama dengan Perancis untuk pelatihan tenaga konservasi. Dengan kekayaan peninggalan kebudayaannya, negara itu dianggap maju dalam konservasi dan penyajian di museum.

Adanya pelatihan itu diharapkan mempercepat ketersediaan tenaga konservasi sehingga dapat segera dilakukan desain ulang terhadap penyajian koleksi museum.

Gilles Garachon dari Kedutaan Besar Perancis untuk Indonesia menambahkan, konservasi tetap yang utama bagi sebuah museum. Namun, setelah itu penyajian benda koleksi yang terkait dengan display harus mendapat perhatian.

"Jika penyajian tidak menarik, maka koleksi di museum tidak akan diapresiasi oleh masyarakat. Padahal, museum merupakan memori untuk mengetahui diri sendiri dan membangun di kemudian hari," paparnya. (INE)


Search :

0 komentar: