Monday, January 07, 2013

Penggunaan silica gel dalam lemari pajang

Pemakaian silica gel di dalam lemari pajang sudah lama dikenal dan diterapkan di museum di Indonesia.Dengan kata lain bukanlah hal baru. Sehingga didalam beberapa presentasi saya mengenai iklim mikro yg diperlukan koleksi, ada beberapa peserta yang menanggapi dengan setengah hati. Kesemuanya itu saya catat dlm hati.Dann.... akhirnya terjawab sudah.Kenapaaa setiap saya berbicara ttg silica gel gel banyak yg tidak merespon positif. Di tahun 2012, saya mendapat kesempatan mengunjungi beberapa museum di pulau Jawa dan Sumatera. Ada yang memang diundang sebagai pembicara di museum tersebut, tapi lebih banyak sebagai pengunjung museum. Dan memang.dari pengamatan. sudah banyak meletakkan silicagel di dalam lemari pajang. Namun cara peletakan nya yang berbeda dengan apa yang saya ketahui. Jadi, Pake silica gel? iya. cumaa how to nya, atau caranya yang harus diluruskan agar fungsinya tepat.  

FUNGSI SILICA GEL Sebenarnya buat apa sih. Kok pake silica gel segala? ditempat kami pakai kapur barus bu. Lalu mengapa harus menggunakan silica lagi? pertanyaan ini sering sekali ditanyakan. Sebelum menjawabnya,rasanya perlu melihat lagi mengapa sebuah benda masuk museum.Tentunya karena ingin dilindungi dengan alasan dapat dinikmati hingga generasi yg akan datang.Nilai historis yg ada pada benda atau koleksi itu tentunya yg ingin diberikan kepada pengunjung, salah satu caranya adalah dengan menampilkannya di dalam vitrin (lemari pajang).Namun ternyata seringkali kita lupa jika sudah didalam vitrin berarti koleksi sudah memiliki lingkungan baru. Lingkungan ini sangat mempengaruhi sifat koleksi. Untuk itu lingkunga tersebut itu harus kita atur agar selama koleksi berada di dalamnya, setidaknya lingkungan tersebut tidak menambah atau mempercepat kerusakan koleksi. (Baca lagi 10 faktor kerusakan yaaa)

Nah, salah satu faktor penyebab kerusakan pada koleksi adalah kelembaban relatif (RH) yang tidak sesuai. Artinya..terlalu lembab atau terlalu kering dapat membahayakan koleksi. Lebih bahaya lagi, jika fluktuasi antara RH tinggi dan RH rendah terlalu besar, maka hal ini akan mempercepat munculnya kerusakan pada koleksi. Oleh karena itu dibutuhkan kondisi lingkungan dimana RH tetap terjaga stabil, tidak terlalu fluktuatif perbedaannya. Kondisi RH yang stabil dapat diperoleh jika ruangan tempat menyimpan koleksi tersebut memiliki pengatur udara (AC) yang dinyalakan selama 24 jam. Dapat pula dengan menyediakan dehumidifier diruangan yang menyala saat AC dimatikan. Lalu, bagaimana jika kita tidak dapat memenuhi keduanya ? Nah, cara terbaik adalah menjaga kestabilan dengan silica gel yang sudah terkondisikan. Kita dapat membeli silicagel yang sudah dkemas oleh perusahaan seperti Artsob. tinggal kita masukkan silicagel sesuai dengan volume vitrin. Namun harganya mahal. Untuk itu kita bisa membuatnya dengan menggunakan silica gel yang dijual kalengan dan mengkondisikan sesuai kebutuhan.

 Silica gel yang terkondisikan itu berarti sudah ada tahapan yang dilakukan, yaitu :
- pengeringan silica gel
- memasukkan silica gel dalam kantong
- menimbang
- merekondisikan pada RH yang diperlukan(50%)
- meletakkan di dalam vitrian (lemari pajang) Jadi dengan meletakkan silica gel yang sudah terkondisikan, kita dapat memperoleh lingkungan mikro yang stabil untuk jangka waktu tertentu.  


Gunanya??
Dengan lingkungan yang memiliki RH yang stabil, maka jamur pun tidak muncul pada koleksi maupun pada material vitrin. Dengan demikian koleksi akan terjaga.  


Kesimpulannnya: Silica gel yang diletakkan di dalam vitrin sudah direkondisikan, dimana silicagel tersebut dapat berfungsi sebagai penyangga (buffer) RH sesuai dengan kondisi yang diinginkan Silica gel tersebut dikemas dalam kantong berukuran tertentu sesuai dengan volume vitrin dan tidak menyentuh koleksi RH yang diinginkan adalah RH yang baik untuk semua material koleksi organik dan anorganik, diambil RH tengah-tengah yaitu 50-60%

Thursday, January 28, 2010

PRINSIP-PRINSIP MONITORING




Sudah membaca tulisan saya sebelumnya mengenai penghilangan debu di koleksi dalam vitrin ? atau memandikan bhairawa ? atau penyelamatan si gaja dumpak ?

Saya anggap sudah pada membacanya.. ( yang belum baca, buka arsip tulisan yaaaa)
Pertanyaan saya berikutnya..
Mengapa tindakan tersebut yang dipilih ?
Harus ada alasan yang baik mengapa , kami , tim konservasi memilih memandikan Bhairawa dan teman2nya sedang untuk koleksi debu dalam vitrin tindakan yang dipilih adalah mengangkat debunya saja dan mengembalikannya ke tempat asalnya.


Yang kami lakukan tersebut merupakan TINDAKAN atau ACTION dari apa yang kami amati sebelumnya.
Kami melakukan kegiatan yang disebut MONITORING

Monitoring merupakan tindakan observasi atau pengamatan yang dilakukan secara berkala dan kontinu..Dilakukan selama jangka waktu tertentu, sehingga menghasilkan data yang terbaca. Data yang diperoleh menjadi dasar dari tindakan yang akan dilakukan selanjutnya.

Jadi kalau tidak berkala dan berulang, namanya bukan monitoring, tapi hasil pengamatan biasa.
Kegiatan monitoring yang dipilih bukan observasi atau pengamatan, karena kami ingin keputusan yang diambil bukanlah tindakan buru-buru, tapi sudah berdasarkan fakta.

Monitoring hanya memberikan data, bukan tindakan. Data yang diberikan akan membantu kita memilih tindakan yang benar dengan memprhatikan unsur-unsur yang terlibat.

Jadi kalau ada yang bilang sudah dilakukan monitoring kok masih juga ada, artinya perlu dilakukan koreksi..
karena
Monitoring tidak akan merubah apapun kecuali dilakukan TINDAKAN atas data yang diperoleh hasil dari monitoring.


Jika kita melihat secara keseluruhan mengenai perlindungan koleksi di lingkungan museum, terdapat 5 tahap perlindungan YANG SALING BERKAITAN.
yaitu ;
1. AVOID : pencegahan. Sedapat mungkin kita mencegah agen perusak mendekati koleksi.., kalau tidak bisa dihindari kita lakukan tindakan....
2. BLOCK : menghalangi agen perusak tersebut masuk, mendekati atau mengenai koleksi. KAlau ternyata tanpa kita tahu agen perusak sudah sampai, tidak dapat dihalangi, maka langkah berikutnya adalah....
3. DETECT : kita mendeteksi keberadaan agen perusak koleksi tersebut. Nah...pada bagian deteksi inilah dilakukan MONITORING.....
Apabila hasil monitoring memberikan data atau gambaran bahwa telah terjadi "sesuatu" maka harus segera dilakukan langkah.....
4. RESPOND : adalah menindaklanjuti , mau diapakan koleksinya ? atau lingkungannya? agar koleksi menjadi lebih baik dan .....
5. RECOVER : kondisi dimana tindakan /treatment sudah dilakukan dan melakukan tindakan pencegahan yaitu kembali ke langkah no 1.


Agen perusak koleksi menurut Stefan Michalski dari Canadian Conservation Institute, dan juga yang dipakai dalam CollAsia2010 adalah :



Prinsip monitoring ini dapat diterapkan pada beberapa faktor yang terukur antara lain temperatur dan kelembaban, debu, cahaya dan serangga




Mudah-mudahan dengan dengan dilakukan pengamatan secara kontinyu atau monitoring, maka kerusakan dapat diminimalisir dan koleksi dapat "hidup nyaman aman dan tentram" di museum...

SEMOGA...... ^-^





















Tuesday, January 19, 2010

CATATAN KECIL DARI KURSUS INTERNASIONAL COLLASIA2010 DI MUSEUM NASIONAL: 10 – 28 November 2008



Kursus International CollAsia2010 di Jakarta merupakan kursus lanjutan setelah Bangkok (2002) , Kuala Lumpur (2003), Bangkok ( 2005), Leiden (2005), Manila (2006), Hanoi (2007), Vientiane (2007) dan New Delhi (2008).

Tema untuk kursus di Jakarta adalah
Buildings : Environments for Collections atau jika di Indonesiakan dapat diterjemahkan dengan bebas Gedung : Lingkungan untuk koleksi..

Tujuan diadakannya kursus ini adalah untuk memperkuat kapasitas para peserta dalam memahami dan mengevaluasi kondisi berbagai macam jenis gedung dan untuk mengembangkan strategi dalam mencari kondisi yang sesuai untuk koleksi benda cagar budaya yang disimpan didalamnya.

Persiapan untuk kursus Jakarta dimulai sejak Museum Nasional memperoleh surat dari Direktur Jenderal ICCROM, Mr. Mounir Bouchenaki tertanggal 18 September 2008 tentang penunjukan Museum Nasional sebagai tuan rumah Kursus CollAsia2010 yang akan diselenggarakan tanggal 10 – 28 November 2008.

Kursus ini merupakan kerjasama antara ICCROM International Centre for the Study of the Preservation and Restoration of Cultural Property) Roma, SEAMEO-SPAFA (Southeast Asian Minister of Education Organization-Regional Centre for Archaeology and Fine Arts) Bangkok, Museum Nasional Indonesia dan Museum Ethnologi (Volkenkunde) Leiden. Dinyatakan pula bahwa pengumuman mengenai kursus akan diletakkan dalam website CollAsia (www.collasia2010.org) dan ICCROM (www.iccrom.org).

Untuk tujuan ini, tim lokal telah menyiapkan ruangan kelas di laboratorium konservasi lantai 5, tas CollAsia, banner, spanduk, name tag dan melakukan surat menyurat secara elektronil (melalui email) dengan para nara sumber, tim SPAFA dan ICCROM. Berdasarkan korespondesi ini, diketahui kebutuhan para pengajar saat kursus dilaksanakan dan akan dipenuhi oleh tim lokal.

Setelah peserta terpilih (yang merupakan hak perogatif ICCROM) tim lokal yang dipimpin Drs. Widodo, Kabid Konservasi dan Penyajian, mempersiapkan penyambutan para peserta, antara lain membooking hotel tempat peserta tinggal, menyusun menu untuk 3 minggu, memilih katering dan juga kordinasi dengan peserta dari Indonesia, termasuk menyebarkan surat undangan ICCROM melalui fax karena sebagian besar tidak memiliki email.

Peserta yang terpilih sebanyak 16 orang, 9 orang diantaranya berasal dari Indonesia dan 7 orang dari Asia Tenggara. Peserta dari Indonesia berasal dari Jawa dan Sumatera dan tidak saling mengenal sebelumnya. Mereka adalah Slamet ( Museum Nasional), Abasrul (Museum Propinsi Sumatera Barat), Marsiria Sebayang (Museum Propinsi Sumatera Utara), Ahmad Rapanie (Museum Propinsi Sumatera Selatan), Agus Sudaryadi (BP3 Jambi), Ari Swastikawati (Pusat Konservasi Borobudur), Dewi Yuliyanti (Direktorat Museum), dan Winarsih serta Ery Sustiyadi dari Museum Sonobudoyo.

Peserta dari Asia Tenggara adalah Nora Haji Abdul Kadir (Brunei Darussalam), Thong Bunthoeun (Kamboja), Duangchith Thammavong (Lao PDR), Arnulfo Dado (Filipina), Duc Tuan Nguyen (Vietnam) dan Patcharalada Jullapech serta Sopit Panyakhan dari Thailand.

Tim kursus yang juga
berperan sebagai nara sumber adalah Katriina Simila (ICCROM), Farideh Fekrsanati (RMV), Fransiza Toledu (arsitek Brazil) bekerjasama bahu membahu dengan tim lokal yaitu Drs. Widodo,; Sumardjo S.Pd, M.Hum,; Sutrisno, S.Pd,; Ita Yulita S.Si M.Hum dan Dyah Sulistiyani S.Si agar kursus berjalan lancar dan sukses.

Selama 3 minggu kursus, seluruh peserta dan nara sumber ditempatkan di Hotel Cipta yang berlokasi 2 km dari Museum Nasional. Setiap pagi, untuk memastikan semua peserta dan tim kursus tidak ada yang tertinggal pihak Museum Nasional menjemput ke hotel untuk dibawa ke Museum dengan menggunakan bis.

Upacara pembukaan berlangsung meriah dengan mengundang seluruh perwakilan Kedutaan negara peserta, namun hanya Filipina dan Laos yang mengirimkan wakilnya. Tidak lupa mengundang perwakilan UNESCO Jakarta dan para pejabat di lingkungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Selama kursus, teori dan diskusi sebagian besar diberikan di ruangan kelas. Sesuai dengan tema, peserta belajar mengenai objek , gedung dan interaksi diantara objek dan gedung. Beberapa teori membutuhkan praktek di berbagai galeri (ruangan pameran) di gedung lama dan gedung baru. Kedua gedung yang dimiliki oleh Museum Nasional memiliki ciri khas masing-masing untuk dipelajari sebagai pelindung koleksi. Gedung lama berasal dari masa kolonial dengan gaya gotik, memiliki jendela berukuran besar dan tidak memiliki sistem AC secara sentral..Sedangkan gedung baru merupakan perwakilan dari gedung modern dengan sistem AC yang sentral. Untuk memahami gedung lain seperti halnya rumah tradisional peserta mendapatkan sesi khusus dalam menggambar model rumah tradisional yang ada di ruang pamer. Selain itu peserta juga memahami akses dan belajar membaca desain ruangan , floor plan serta mulai mengenal istilah arsitektur dan teknik gedung.

Diawal mula kursus ,sebagian peserta agak takut dengan istilah-istilah arsitek mengingat istilah ini belum dikenal sebelumnya. Namun dengan berjalannya kursus, istilah-istilah tersebut makin familiar dan akhirnya menjadi tidak asing buat peserta yang notabene bekerja dilingkungan museum ini.

Penyusunan materi yang dimulai dari objek (koleksi) bergerak ke gedung dan kemudian kembali ke objek membuat para peserta menyadari adanya hubungan yang erat dan interaksi yang jelas antara objek dan gedung. Objek dan gedung merupakan sebuah sistem besar yang terdiri atas sistem-sistem. Jika sistem yang besar (gedung) berubah maka sistem yang kecil ( koleksi) pun akan berubah. Ini berarti apa yang berubah pada gedung museum akan memiliki dampak terhadap koleksi yang disimpan didalamnya.

Sebagai pembanding, para peserta melakukan kunjungan ke gedung yang memiliki arsitektur yang berbeda dengan Museum Nasional, yaitu Museum Tekstil dan anjungan tradisional di TMII. Dari banyak anjungan, dipilih 3 yaitu rumah Minangkabau, Rumah Aceh dan rumah Papua.
Peserta melakukan pengamatan terhadap rumah-rumah tersebut dan mengetahui bahwa bentuk rumah disuatu daerah memiliki hubungan yang erat dengan sejarah dan adat daerah tersebut.
Catatan khusus diberikan pada rumah Aceh, karena pada tsunami, rumah yang tetap berdiri dari terjangan gelombang tsunami adalah rumah yang bernbentuk panggung seperti yang dilihat di TMII ini.

Disamping itu pula untuk mengetahui situasi Jakarta di masa lalu, peserta mengunjungi kawasan kota tua untuk melihat gedung-gedung yang tersisa di daerah tersebut. Juga melihat kebudayaan Jakarta pada Festival Budaya Jakarta yang kebetulan sedang berlangsung di depan Museum Fatahillah.

Diskusi dan tanya jawab dilakukan seluruh peserta selama kunjungan ke berbagai tempat tersebut. Dan tidak lupa, untuk mempelajari budaya Indonesia, peserta belajar membatik di Museum Tekstil. Setiap peserta memperoleh kain berukuran saputangan yang telah diberi gambar. Lalu seluruh peserta mengikuti instruktur untuk mengikuti alur gambar dengan cairan malam panas. Pada akhirnya batik yang telah dibuat itu dibawa pulang oleh peserta sebagai cinderamata. Seluruh peserta menyadari betapa sulitnya dalam membuat batik tulis.

Seetelah 3 minggu, kursus ditutup secara resmi oleh Kepala Museum Nasional , Ibu Dra Retno Sulistiawati MM.
Di malam harinya diadakan malam gembira sekaligus malam perpisahan untuk setiap peserta, karena keesokan harinya satu persatu peserta meninggalkan Jakarta dan kembali bertugas di tempat masing-masing dengan membawa kesan dan pesan dari Jakarta.

Selamat Jalan, dan sampai jumpa di kursus-kursus CollAsia berikutnya.

Foto-foto:


















Sunday, January 17, 2010

Selamat Tahun Baru 2010


Selamat tahun baru 2010..
Tahun ini dicanangkan sebagai tahun kunjung museum. Semoga dengan pencanangan ini museum di Indonesia akan semakin berkembang dan mendapatkan tempat di hati masyarakat.

Dunia konservasi museum (DKM) pun tidak mau kalah dalam menyambut tahun yang istimewa ini.Di tahun ini pula, tim DKM pun merombak website... dari hanya m
'nebeng' di blogspot, menjadi website yang berdiri sendiri.
Menjadi www.duniakonservasimuseum.com

Mudah-mudahan dengan perubahan ini, semakin banyak manfaat yang diberikan, untuk kemajuan konservasi museum di Indonesia.
Untuk teman-teman yang ingin share pengalaman dan artikel yang berhubungan dengan web ini dipersilahkan..

Salam

Friday, November 20, 2009

Memandikan Bhairawa




Jika anda sudah pernah mengunjungi Museum Nasional Indonesia, pasti tidak asing dengan patung yang satu ini.., Bhairawa..., secara dia adalah patung tertinggi yang ada di Museum Nasional.
Meski terlindung dibawah atap, bukan berarti koleksi ini bebas dari debu. Saat kami berjalan2 ada beberapa patung batu yang bahkan tidak hanya debu, tapi juga sarang semut dan kotoran burung...
dan kami memutuskan untuk memandikan patung batu yang berada di galeri.....

Sebelum melakukan tindakan pembersihan, seperti biasa dilakukan pengecekan terhadap semua patung..apakah semua stabil ditempatnya, apakah terdapat patung yang terbuat dari batu lunak, yang dapat hancur jika diberi tekanan dsb.

Setelah mengetahui kondisi, baru dilakukan pembersihan.





Pembersihan dilakukan dengan bantuan kompresor sehingga air yang keluar dari selang memiliki tekanan yang cukup kuat untuk mengankat debu, sarang semut dan kotoran burung atau kelelawar.




Pastikan seluruh bagian terjangkau, bagian yang tersembunyi, ataupun bagian yang tinggi seperti Bhairawa , yang tidak terjangkau selama ini kecuali dengan bantuan tangga..

Setelah semua patung dimandikan, jangan lupa bagian bawah (lantai galeri) dikeringkan.., sehingga kembali seperti semula dan siap dikunjungi tamu cantik dan tampan seperti anda....


Setelah kering, koleksi difoto kembali dan ya ampuunnnn.
terlihat muka bhairawa terkena tetesan cat.., selama ini cat gak keliahatan, setelah debu diangkat, baru terlihat...

wahhh PR baru lagi nehhh




Sampai jumpa di artikel selanjutnya..

konservasi koleksi di dalam vitrin




Debu adalah musuh terbesar museum dan galeri di negara tropis dan penuh polusi seperti di Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya secara regular, vitrin di dalam ruangan dibersihkan.

Untuk mengetahui bagaimana melakukan konservasi koleksi yang berada di dalam vitrin, berikut langkah2 sederhana, namun aman bagi koleksi.

1. Sudah dilakukan pengamatan sebelumnya, koleksi dan vitrin mana yang menjadi target.

2. Amati koleksi, apakah bisa dikeluarkan atau tidak. Apakah aman jika dikeluarkan.Aman disini artinya untuk keselamatan koleksi itu sendiri.















3. Perhatikan sekeliling vitrin di galeri, apakah ada pengunjung atau tidak.., dan sebaiknya ada space untuk meletakkan koleksi yang diambil dari vitrin.

4. Lakukan pemotretan mengenai posisi koleksi, untuk mempermudah meletakkannya kembali.

5. Koleksi dan mountingnya (tatakan) diambil dari vitrin, diletakkan di tempat aman.










6. Dilakukan pembersihan. Biasanya yang ada pada koleksi adalah akumulasi debu. Oleh karena itu dilakukan pengangkatan debu secara hati2 pada setiap koleksi dan mountingnya.













7. Selama koleksi dikeluarkan, vitrin yang kosong dibersihkan dari debu.Dapat dilakukan dengan menggunakan vacuum cleaner.

8. Setelah vitrin bersih, koleksi dimasukkan kembali ketempatnya masing-masing sesuai dengan foto sebelum nya yang telah diambil.


Saran :


1. Karena hanya mengangkat debu, sebaiknya tidak menggunakan bahan kimia. Bahkan tidak perlu menggunakan alkohol.

2. Yang perlu dilakukan hanyalah dengan menggunakan kain katun yang telah dilembabkan.

3. Jangan menggunakan kemoceng atau kuas, karena dapat membuat goresan pada permukaan koleksi, dan debu pun tidak terangkat.., cuma pindah tempat doang... ^_^

4. Apabila koleksi tidak dapat diangkat (karena harus mengangkat mountingnya), maka pembersihan koleksi langsung dilakukan ditempatnya. Sebaiknya dilakukan pembersihan debu pada vitrin dulu (tanpa vacuum cleaner, baru kemudian koleksinya).




5. Sebelum berpindah vitrin, pastikan semua koleksi sudah masuk kedalam vitrin dan cek juga vitrinnya, apakah ada benda tertinggal didalamnya...



Selamat mencoba!!!


Sunday, May 24, 2009

Vitrin dengan kriteria konservasi


Vitrin atau lemari pajang merupakan satu dari bagian terpenting di dalam museum. Fungsinya adalah tempat meletakkan objek atau koleksi yang akan dipamerkan kepada pengunjung.
Koleksi di tata sedemikian untuk menarik minat pengunjung datang melalui pameran, yang ada di dalam museum, baik itu pameran tetap maupun pameran temporer.

Namun demikian tata pameran harus dilakukan dengan baik dan benar agar jgn sampai
mengakibatkan koleksi menjadi rusak karena cara menyimpan dan memamerkan koleksi tersebut tidak mempertimbangkan faktor kestabilan dan kerusakan koleksi.

Kecepatan kerusakan koleksi selama berada di museum tergantung dari (1) stabilitas material koleksi, apakah koleksi tersebut kuat atau rapuh, apakah termasuk koleksi organik atau anorganik), (2) tempat penyimpanan koleksi apakah di dalam storage atau dipajang dalam vitrin, dan material vitrin (kayu, besi, stainless steel ) dan (3) tergantung dari lingkungan yang langsung mengenai koleksi,yaitu lingkungan mikro.

Melihat betapa penting fungsi vitrin sebagai lingkungan pertama koleksi, maka perlu diketahui kriteria konservasi, yang menjadi dasar pertimbangan untuk desainer pameran dalam membuat vitrin. Dengan memenuhi kriteria konservasi ini, maka diharapkan vitrin tersebut telah memenuhi standar konservasi yang telah ditetapkan.


Kriteria konservasi yang menjadi dasar dalam membuat vitrin adalah sebagai berikut:

1. Lingkungan di dalam vitrin memiliki temperatur dan kelembaban relatif (RH) yang sesuai dengan jenis koleksi

2. Jumlah cahaya / paparan (nilai lux, nilai uv) yang mengenai koleksi selama pameran berlangsung telah diperhitungkan

3. Menahan gas-gas polutan langsung mengenai koleksi, yaitu yang berasal dari luar vitrin (asap rokok, polusi) maupun yang berasal dari material vitrin (kayu, plywood, lem, kain)

4. Menghindari tekanan-tekanan fisik langsung pada koleksi akibat salah / kurang terencana dalam membuat tatakan atau tempat koleksi berdiri (mounting).


Jika kriteria ini dipenuhi, maka kita akan mendapatkan vitrin standar.

Vitrin standar adalah vitrin yang:
- terbuat dari material yang tidak berbahaya dan di dalamnya terdapat pengontrol lingkungan (temperatur, kelembaban dan cahaya).

- harus dalam keadaan tertutup rapat (sealed), untuk menahan debu dan polutan dari luar masuk, serta tetap menjaga temperatur dan kelembaban dalam ruangan vitrin tetap stabil.

- Pencahayaan yang diterima koleksi selama pameran juga harus dipertimbangkan. Lokasi pencahayaan tergantung dari tipe vitrin yang dipilih. Untuk vitrin dinding, lampu berada didalam vitrin, dan untuk itu harus dibuat tempat tersendiri, yang mudah dicapai. Untuk vitrin tipe pedestal, lampu berada di ruang pamer, dan dicari sudut yang tidak membuat cahaya memantul pada kaca.




Kriteria konservasi diatas harus selalu menjadi pertimbangan desainer pameran dalam membuat vitrin yang akan digunakan untuk pameran di museum.

Pemilihan konsentrasi terhadap lingkungan mikro merupakan konsekuensi dari sulitnya untuk mengontrol lingkungan makro di museum, yaitu lingkungan di ruangan dan di luar museum.

Pameran dan Konservasi


Beberapa teman bertanya pada saya mengenai pameran dan konservasi di museum. Mereka menanyakan adakah peraturan yang harus dipatuhi sehingga saat koleksi berada di dalam ruang pamer tetap terjaga kondisinya.

Pertanyaan ini membuat saya kembali memikirkan, dan juga terbersit rasa bangga, karena konservasi sedikit demi sedikit sudah mulai merasuki jiwa para pekerja museum. Mereka sudah mulai meninggalkan pertanyaan klasik ..kalo membersihkan A pakai apa ya...


Semoga menjadi inspirasi buat rekan-rekan...

dan mohon dicantumkan sumbernya. Trims..


iy



Thursday, February 12, 2009

Identify!!!!!

When we look our object, please ask your self these questions :
1. What is it ?
If we recognize what is the object, at least we knew its function...
2. Why is it important
knowing the reason why the object now in museum
3. What is it made of ?
Is it organic or inorganic materials or maybe mix of them ?

Organic materials are made from once living things. From plants and animals. They include wood, plant fibers, other plant materials, paper, textiles, threads, yarns, basketry, leather, parchment, hair, bone, horn, ivory, claws, gums, some resins, and plastics.

Inorganic materials are derived from minerals. Inorganic materials include ceramics, glass, metals, and stone.


4. How was it made ?
It has relationship with technology, how to make the object. Sometimes it's dificult, especially if the technology is no longer used today. However, this understanding will explain many of the characteristics and qualities of your object.

5. What is wrong with it ?
You can say what wrong in the object after you see something change in your object. For that reason, maybe you see phisically and it different with data condition that you already have.

6. What caused the damage ?
Since we knew already how its made, if condition change.., its because from the origin (result of manufacture) or because of deterioration. Many objects in Museum get damage because deterioration.

7. What could a conservator do to preserve and conserve ?
when dealing with the objects, must be considering at first time is structural issues. Is the item broken? Are there missing parts? Is the structure loose? Structural problems should be investigated and described first because they potentially impact the survival of the entire piece.

After the structural condition of a piece is determined, a conservator will look to more surface, aesthetic, or cosmetic elements of the object such as paint layers, finish, dirt, and other disfigurement. The distinction between structural and cosmetic condition issues is important and is one of the ways to distinguish the work of conservators from that of restorers.

iy

(from http://www.netnebraska.org/extras/treasures/identify.htm )



Saturday, November 29, 2008

The Museum Conservation in developing contries

The main problem to conduct the museum conservation in developing contries are almost the same: Financial problem or low economic performance.


This is the main cause of the problem. The limited of money influence the activities of this job.


Firstly,

Almost of all museum in the developing countries have a less employee or conservator. So there are many job couldn't be finished yet.

Secondly,
the skill of conservator is limited. Or skill and education is not enough to run the conservation activities properly.

Third. Because the limited financial, the government do not choose the culture heritage as the priority. So the attention of government is not enough.

Fourth.
The awareness of conservator is not enough. So, the activities of conservation is not efficient.

Fifth
The paradigm of conservation in developing countries is how to cure (It is called as curative conservation) , not how to prevent ( It is called as preventive conservation)
It is means that the management of conservation is fell behind the developed countries, and not so effective and efficient. This paradigm include non-environmental friendly, because the application of some harmful and poison chemicals. So the museum conservation in developing countries is very dangerous job.

Sixth
Because the almost of all developing countries is placed in tropical area, so the climate should be consider. Especially about humidity and high temperature that can make lack the collections. So thats why the collection in developing countries is easily to deterioration.

Because of the above problem, The world ( not only developing countries) should thinking about this. and solve this problem. The collaboration, the training, the discussion from developed countries should conducted as the priority to solve this problem.