Sunday, December 17, 2006

Handling the objects vs handling objection

This is two words that really different meaning; contrary

Beneran, hari ini saya baru sadar akan dua makna kata-kata tersebut.


Handling the objects..
Works with museum collection, makes me familiar with this words. This words illustrate our job. such as how to holding, how to exhibite, how to prevent safely. Safe means, safe from the thieves, fire, light, earthquake, falling dowm etc
Handling the object si focus to ourselves, for more carefuly to treat the colections. Not only for conservation member, but all museum employee.

Saya selama ini selalu bekerja dengan koleksi museum, tentunya hapal beneeeeer dengan kata tersebut. Itu adalah kata yang menggambarkan bagaimana pekerja museum seperti kita ini menangani objek, atau koleksi.. Artinya, gimana megangnya, gimana cara natanya, gimana agar koleksi itu tetap berada ditempatnya dalam keadaan aman.
Aman disini maksudnya banyak banget, aman dari pencuri, kebakaran, kelembaban dan temperatur yang tidak sesuai, cahaya, gempa, jatuh de el el....
Handling the objects lebih ditekankan pada diri kita sendiri. supaya lebih care pada koleksi.
Tidak dapat dipungkiri pekerja museum tentunya memiliki reflek yang bagus tentang handling the object, bukan hanya mereka yang bekerja di bidang konservasi dan penyajian pameran aja lo, tapi juga para kurator (gimana temen-temen kurator, ada tanggapan?)


Handling objections
Hemmm, this is really different meaning.
Handling the objection is a way of us to answer or respond if somebody ask question or objection. It need good argumentative and logical statement. And af course based on fact.
Both of words is related in some of my job.

Nah ini lain lageee,
handling objection adalah bagaimana kita mengatasi pertanyaan-pertanyaan dengan cara yang tidak mematahkan tapi bisa mempengaruhi orang dengan kata-kata kita itu...
Tentunya karena kita memberi fakta yang benar dan nyata secara logika..
Ini menarik tapi susah !
Cuma jangan anggap susah sebagai halangan, tapi tantangan

In case of Museum collection, we should answer logicaly, even only for unimportant questions. such as, Why we should hold the collection using hand gloves and sometimes not use hand gloves.
Dalam kasus koleksi museum, kita harus bisa memberikan pernyataan dan jawaban logis. Seringkali pertanyaan yang diberikan sangat sepele, tapi kita jawabnya tidak boleh simple. Contohnya, kenapa kok ketika ambil atawa pegang koleksi harus pake sarung tangan tapi kadang-kadang sering juga gak pake sarung tangan
.




To answer that question: Using hand gloves is a wise action. Salt acid sweat on our hand have a potentioal to corode the iron collections. But if the collection have many beads on its surface, using hand gloves can make broke the beads on surface. Using hand gloves on ceramics, is not wise because the slippery of ceramics.

Untuk pertanyaan seperti ini sebenarnya secara logika bisa kita jawab,
Pake sarung tangan untuk mengambil koleksi adalah tindakan yang baik. Alasannya tangan kita mengandung keringat, dan jika kita pegang koleksi terutama logam keringat itu akan berpindah dari tangan ke koleksi, dan itu akan memicu timbulnya perubahan pada koleksi akibat perubahan suasana. (keringat itu adalah garam yang bersifat asam lo).
Tapi... (inget ada tapinya)
JIka sarung tangan kita pake untuk pegang koleksi yang banyak pernik-perniknya harus hati-hati.. Bisa-bisa tu sarung malah nyangkut dan manik-manik atau ukiran halus akan tertarik.
Atau jika koleksi licin (keramik misalnya) bisa-bisa lepas dan jatuh dari pegangan.

It is better to anti slip hand gloves. But we should import this material and usually expensive. I couldn't find in Indonesia. netherland is the source of this kind of hand gloves.
Another easy way is by washing our hand before touch the collection. Hopely, the sweat is gone after this washing.

So, the point is we want to protect the collection. Thats all.

So, kalo mau pake sarung tangan ya.. cari yang anti slip, bukan yang kain atau kaos dan nyaman dipake.
(biasanya yang pake warna norak, ijo misalnya---), dan sarung tangan yang aman untuk koleksi seperti ini biasanya mahal... gak tau deh di Indonesia ada apa nggak, yang sering aku pake adalah dari Belanda)

Jadi yang musti difikirkan, kenapa kita pake sarung tangan? ya karena kita gak mau "menodai" koleksi dengan noda yang berasal dari tangan kita.


Dari pada pusing-pusing, ada cara yang sangat praktis ketika kita pegang koleksi, yaitu cuci tangan sebelum pegang koleksi, kalau perlu pakai sabun.

lho kok gitu?

Iya.., karena dengan cuci tangan berarti segala noda dan keringat yang ada di tangan sudah hilang dan dijamin tidak akan pindah ke koleksi.

Dan dijamin pula ketakutan akan jatuhnya koleksi atau nyangkutnya pernik-pernik atau ukiran, akan sirna.


Mudah bukan???

Sunday, December 10, 2006

Archaeologist : working in museum or not ?

Friday, December 8th, I follow the seminar in University of Indonesia about curriculum and the job opportunity for archaeologist. The interesting matter is this seminar explain by the culture expert, from the institute that receipt the archaeologist. And the result, thera are many archaeologist who didn't work in archaelogy area.

Jumat tanggal 8 Desember kemarin, saya ikut menghadiri diskusi ilmiah di PSJ UI mengenai pengembangan kurikulum dan kesempatan kerja lulusan arkeologi. Menarik, karena diadakan oleh yang berkepentingan dan juga dibahas oleh para pakar dibidang budaya dari instansi yang memang menampung lulusan arkeologi. DAn ternyata, banyak dari lulusan arkeo bekerja bukan pada bidangnya, (itu yang bisa saya tangkep sekilas, maklum datengnya telat... Depok pasar macet banget).


You know, I am, inversly different with they are. My first education background is not social. I do not understand about archaeology. But I try to learning by doing. frequently asking. At last, continue study for getting master in archaeology. I really want to know the history of the collections

KAlau saya malah kebalik. SAya pada awalnya bukan dari bidang budaya bahkan bukan dari bidang sosial. Ketika sudah bekerja di Museum Nasional justru bingung, karena sama sekali nggak ngerti sejarah apalagi arkeologi.
Padahal saya tiap hari berhadapan dengan benda-benda tersebut. Dan saya benar-benar learning by doing. SAya sering bertanya pada mereka-mereka yang senior di museum, namun seringkali jawaban nya tidak memuaskan hati maka pada akhirnya nekat ambil S2 arkeologi di UI karena pingin tau sebenarnya benda-benda yang saya pegang ini apa? SAya pingin tahu histories behind the objects....

I, as a people who usually thinking practicaly, must re-set our thinking. It is not an easy works, but Thanks God, this is not a hard works.
The conclusion is: to love the culture can grow up when we facing directly to that environment

Saya yang biasa berfikir praktis harus dapat mengeset ulang pola pikir, ini bukan pekerjaan gampang, tapi karena saya senang melakukannya jadi tidak terasa berat.
Ternyata kecintaan pada bidang budaya, terutama pada museum bisa datang ketika kita sudah berada di dalam lingkungan tersebut
.Semoga pengalaman pribadi ini bisa menjadi masukan buat para pengajar Arkeologi di mana saja berada.

Des 2006

Saturday, December 09, 2006

It was very interesting to handle gold collection in vitrine


This month, Museum Nasional Indonesia have a big job, to move a part of collections from old building to new building. After that. We will do grand opening, by Indonesian President : Mr SBY. Even until I write this article, still no exact information about this. As a worker, we keep working, pick the collections, clean up, arrange in the new place.

Bulan-bulan terakhir ini Museum Nasional punya hajat besar, yaitu memindahkan sebagian koleksi dari gedung lama ke gedung baru. Setelah itu, grand opening deh, yang katanya mau dibuka sama pak SBY. Tapi sampai berita ini ditulis, belum ada berita kapan mau diresmikan. Sebagai pekerja, ya kita tetap kerja, mengambil dari tmpatnya, membersihkan, dan kembali di tata di tempatnya yang baru....

It takes 2 weeks to arrange 4th floor of new building. This floor is for gold and ceramics collections. The experience to handle this kind of material will share for all member of conservation. This is a good team worker and a good starting to get a better result.
The collection choosen and moved by curator, accompanied by registree member. Collection will placed on the stone. Bring the collections should do with carefully. avoid from any shaking. Good covering.
Conservation team (including me) has been waiting on new location. And then, we open the case. Wow, It is very beautiful... prety... How wonderful..

Sudah sekitar 2 minggu ini kita menata lantai 4 gedung baru. LAntai ini dikhususkan untuk koleksi emas dan keramik.
Pengalaman dalam menata koleksi emas etnografi akan dibagi untuk semua. Ini adalah contoh kerja tim di Museum Nasional. Terlepas dari ketidak sempurnaan, kerjasama tim ini sudah merupakan permulaan yang baik untuk menuju yang lebih baik.
Koleksi terpilih yang akan menempatkan tempat batu telah diambil. (Pemilihan koleksi adalah hak perogatif kurator etno). KEtika ngambil didampingi satu staf registrasi (itu tuh, yang mencatat keluar masuk koleksi).
KOleksi ditempatkan dalam wadah, dan dengan troley dibawa ke gedung baru.. Sedapat mungkin guncangan dihindari, karena bisa membuat koleksi tidak nyaman. Sebagian koleksi dibungkus dengan rapih , tujuannya juga untuk menghindari guncangan fisik pada koleksi.
Tim dari bidang konservasi dan penyajian sudah menunggu di tempat baru. (Saya masuk dalam tim ini). DAn ketika koleksi dibuka, kata wow, gila..., bagus banget.... adalah kata-kata yangsering keluar.

For us, it is really happiness to hold kris, use a ring with a big diamond or ruby. And only us (conservation member) can hold this expensive collections.

Buat kami ini adalah kebahagiaan. Kapan lagi bisa megang keris bertatahkan berlian, atau mencoba cincin dengan berlian atau batu mirah yang segede biji jagung.. (bahkan lebih gede lagi). Dan membayangkan sebagai putri raja.........
Yang lebih membanggakan, tidak semua orang bisa megang, bahkan karyawan museum pun tidak semuanya bisa
.
Back to the collections. After we receipt. and the checking. clean up the dust. do restoration, if there are a loose parts. If necesary by sewing. but avoid working with harmfull chemical. aquades water and alcohol are enought.

Kembali ke koleksi..., koleksi diterima tim konservasi.Di cek, kalau penuh debu dibersihkan, kalau ada bagian yang longgar atau lepas di restorasi. UNtuk koleksi yang perlu dijahit, ya dijahit dulu.. Tim konservasi bekerja dengan bahan yang tidak berbahaya. KAlau cukup dengan akuades dan alkohol, tidak perlu pake bahan kimia yang lain.













Sewing is the alternative working to decrease the using of knobs, that potential to grow the corossion. The point is we have to avoid the next deterioration.
Penjahitan dengan benang adalah sebagai alternatif untuk mengurangi pemakaian jarum pentul atau kawat, yang bisa menimbulkan karat. INtinya kami melakukan dengan menghindari terjadinya kerusakan lanjutan atau baru.








After the conservation done. the next job will held by exhibition member. The job is arrange the collections by input to vitrine. It is not easy, because there are many consideration from conservation member, and curator want attached the story line. So in this moment, the cooperation is needed.

Setelah dirasa cukup, baru tim penyajian bekerja. Tugasnya adalah menata koleksi ke dalam vitrin yang telah disediakan. INi juga gak gampang, karena tim konservasi cerewetnya minta ampun. dan tim kurator juga minta agar ditata sesuai dengan story line yang mereka punya..
NAh disini enaknya kerja tim..., semua ditampung dan dicari solusi yang enak dan menyenangkan semua pihak.

When mounting needed or base for collections, we use the safe material for collections. Displaying with wire must be avoid. If need to hanging, use nylon thread (safe and strong)
KEtika dibutuhkan mounting atau alas buat koleksi, dicari yang tidak berbahaya untuk koleksi. Pemajangan dengan kawat dihindari. Kalau perlu digantung, gunakan tali pancing (dipakai, karena aman untuk koleksi dan kuat).



After displaying done. Finish the job for today. Tommorow will be continue. with anoter material.

Begitu selesai dipajang, rasanya... lega...,
Cukup deh kerja hari ini. Besok disambung lagi

Monday, December 04, 2006

There are many people do not understand Museum conservation

Why ?
We don't know. If know, it is depend on the people

Mengapa?

Jawabannya tidak tahu, kalau tahu.. ya kira-kira aja, karena semuanya tergantung dari orangnya kok.

My experience said that. Someone should go to Vietnam for following the conservation course. But prohibited by the government. Because she is a curator, not a conservator. So, it is not her job.

Pengalaman hari ini membuktikan seperti itu.
Ada teman mengeluh, dia tertahan untuk pergi ke Vietnam untuk menghadiri kursus tentang konservasi. Dia diundang karena telah terpilih, tapi sayangnya dia itu bukan dari bagian konservasi di museum tapi kurator.
Ada orang yang bilang, ngapain ? kan itu tidak sesuai dengan bidang tugas di museum..., ngambil jatah orang dsb, dll...

As a conservator, I very dissapoint about this paradigm. People (in Indonesia) only think that conservation job is wiping and cleaning the conservation. make the collection glow and shiny. That is the conservation (as they think). It is very limited meaning of museum conservation!



Saya sebagai orang yang berkecimpung di dunia konservasi menyayangkan hal tersebut. Artinya orang itu punya pikiran sempit tentang konservasi. Dikiranya, yang namanya konservasi itu cuma ngelap dan bersihin koleksi aja, pake bahan kimia dan bikin koleksi kinclong apa???, apakah cuma sebatas itu orang mengenal konservasi?

Actually, the conservation involve all activities in museum. Conservation is a "bone" of museum ! You know, the function of mueum from the government regulation is not only place to keep the collection from past, but include to preserv and conserv them.
How to conserv? By do not make a broken. even sometimes happened, (by light, misshandle, take a picture).
Of course, consevation is important, sech like another section in museum, are important.
So, if someone want to learn conservation (even not conservator). It is better to make them understand the meaning of conservation endeed.
This is missunderstanding meaning about conservation in museum.
This job not only cleaning, wiping, apply chemical. But it is means all activities of museum.
This blog purpose is to alter the paradigm of conservation. not only a section in museum, but all.
If another can say, Total Quality management, maybe this is the time to say Total conservation management in museum.
It is not easy work off course, but have to start. (even still not many people in Indonesia love the museum)

Gini ya..
Yang namanya konservasi itu adalah mencakup semua bidang. Malah saya berani bilang, bahwa tulang nya museum adalah konservasi. Apa sih fungsi museum menurut UU, kan bukan hanya tempat meletakkan objek dari masa lalu, tapi juga objek tersebut harus tetap dijaga kelestariannya
Gimane jaganya ?
Ya.. jangan bikin kerusakan baru dong. Kadang-kadang kerusakan muncul tanpa disadari, dan yang bikin seringkali pekerja museum sendiri( juga tanpa disadari).
Cahaya, kelembaban, salah megang, mindah-mindahin koleksi, pemotretan,....
Emang kurator itu penting ,sama aja pentingnya dengan keuangan (lho..)
Maksudnya, semua bidang di museum itu penting...
jangan menganggap satu profesi berada diatas yang lain...
Saya sebagai orang konservasi, kalau orang lain diluar konservasi mau ikutan kursus tentang konservasi, malah bersyukur banget.
BIar aja, biar pada tahu apa itu konservasi..
JAngan berpandangan sempit, karena semua segi di museum bertujuan untuk melestarikan koleksi (baca: melakukan konservasi).
Kalau ada seminar tentang hal ini, saya berani mengemukakan semuanya... atau saya buat aja sendiri ya , seminar mengenai pergeseran paradigma pada konservasi..
Semuanya ini mengingatkan aku akan niat mulia ketika membuat blog ini.
TApi dipikir-pikir, berapa persen sih orang Indonesia atau pemerhati benda budaya yang melek dan mau ngubek-ngubek internet ?

Rasanya tidak ada jalan lain, saya harus buat plan B nih..
Selain bikin blog di internet, rasanya harus bikin tulisan dan nembus Kompas atau Republika.

Doakan ya...
Niat mulia ini kesampean

Jakarta,
4 Desember 2006

Tuesday, November 14, 2006

minggu ketiga

Pada minggu ketiga ini penekanan adalah mengenai perencanaan Konservasi dan Restorasi. Tidak seperti 2 minggu sebelumnya, minggu terakhir diawali hari Minggu. Kegiatan diawali dengan melakukan studi ekskursi ke tempat tempat yang telah melakukan kegiatan conservasi dan restorasi, dan telah melakukan perencanaan pemeliharaan. Kemudian menggunakan apa yang diperoleh tersebut untuk presentasi pada hari terakhir di institusi masing-masing peserta.

Minggu, 8 Oktober

Rombongan peserta meninggalkan Lunds menuju Stockholm, yang berjarak 600 km di sebelah utara. Istirahat di daerah Vadstena, dan mengunjungi puri, gereja dan bekas biara yang dijadikan museum.




Malam hari tiba di Stockholm









Senin, 9 Oktober
Melakukan kunjungan dan studi ekskursi ke Istana Raja, The Royal Palace (yang dijadikan museum). Peserta diberi gambaran bagaimana konservasi dan restorasi pada istana termasuk perawatan pada objek yang ada di dalamnya (lukisan, gaun, furniture).

Sayangnya, gak boleh ambil foto disini, jadi kira-kira fotonya dari luar aja ya...



Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi Vasa museum, yang merupakan museum yang hanya memiliki satu koleksi namun besar sekali, yaitu kapal Vasa. Kapal ini tenggelam pada peluncuran perdananya tahin 1660 an dan baru ditemukan dan diangkat ke permukaan setelah 300 tahun. Diberikan pula bagaimana cara melakukan konservasi dan restorasi serta pemeliharaannya hingga sampai saat ini masih dalam keadaan kondisi yang baik. Termasuk bagaimana melakukan pengecekan kondisi lingkungan yang selalu dijaga agar tetap dalam kondisi stabil.




Kunjungan terakhir adalah ke Gereja Katharina, yang berada di daerah Stockholm. Gereja ini masih dalam proses restorasi akibat terbakar pada tahun 1990 an
GEreja ini ternyata pada awalnya aliran Maria Magdalena, itu loo seperti yang di Davinci Code.






Selasa, 10 Oktober
Rombongan meninggalkan Stockholm menuju Lund. Dalam perjalanan singgah di daerah Linkopping dan mengunjungi gereja katedral yang sudah di restorasi akibat terbakar habis hingga atap. D saat melakukan restorasi keinginan masyarakat sekitar di penuhi, yaitu mereka ingin gereja tersebut memiliki bentuk dan interior seperti kondisi sebelumnya. Dengan demikian terlebih dahulu telah dilakukan studi historis termasuk pengetahuan mengenai material yang digunakan pada masa itu yang akan diterapkan .
Namun sentuhan modern tetap dimasukkan tanpa merusak arsitektur awal. Yaitu pembuatan ruangan storage dibawah tanah dan instalasi listrik baru.
Sore hari rombongan tiba kembali di kota Lund.


Rabu, 11 Oktober
Hari ini adalah waktu yang diberikan pengajar kepada peserta untuk membuat projek maintenance plan yang harus dipresentasikan besok di depan para pengajar. Proyek tersebut merupakan kegiatan tahap kedua yang harus diselesaikan sebelum peserta berkumpul kembali bulan Maret di Mesir.

Kamis , 12 Oktober
Presentasi peserta.
Ita Yulita memberikan presentasi mengenai proyek yang akan dikerjakan, yaitu pembuatan peta iklim di ruangan – ruangan museum, gedung lama dan baru sebagai bagian dari maintenance plan terhadap gedung dan koleksi yang tersimpan di dalamnya.


Jumat, 13 Oktober
Evaluasi pihak SIDA terhadap penyelenggara, dan evaluasi penyelenggara oleh peserta

Sabtu, 14 Oktober
Kembali ke negara masing-masing

Sampai jumpa di Mesir..bulan Februari /MAret,

Tapi jangan lupa...
Proyeknya dikerjain , jangan cuma jalan-jalan doang...........

minggu kedua; It's nice to be here.......


Senin, 2 Oktober

Merupakan hari pertama pada minggu kedua di Lund. Setelah week end yang cukup heboh, kita kembali ke sekolah. Penekanan materi pada minggu kedua ini adalah mengenai Practical Building Conservation.
Pendahuluan fase kedua ini disampaikan oleh Dr. Kerstin Barup mengenai proses dan teknologi. Serta peranan craftmanship dalam konservasi dan restorasi gedung bersejarah.
Setelah istirahat materi dilanjutkan dengan presentasi Jenny Halstrom mengenai pemanfaatan sinar fluresense dalam menangani gedung bersejarah.

Selasa, 3 Oktober
Studi ekskursi ke daerah Roskilde, Denmark



Viking Museum


Gereja di Roskilde



http://photos.blogger.com/upload-image.g?blogID=21282923
Cancel

Rabu, 4 Oktober
Teori dan praktek mengenai craftmanship di Kulturen, Lund.


1. Paint and colours oleh Richard Kjellstrom. Sesi ini mengenai cat dan zat warna tradisional di daerah Swedia yang menggunakan materi dari batuan dan tanah






2. Stone and masonry oleh David Waite, yang mengajarkan bagaimana teknik membuat replika dan mengukir batu-batu yang polos menjadi hiasan yang indah.






Kamis, 5 Oktober
Teori kembali diberikan di dalam kelas. Christina Wamslet memberi materi mengenai Disaster Mitigasi di daerah cagar budaya, merupakan suatu pendekatan dalam risk management atau managemen resiko pada daerah yang merupakan cagar budaya dan sering terkena bencana alam.
Dilanjutkan oleh Alfredo Stein yang berbagi pengalaman dalam melakukan manajemen daerah cagar budaya di Amerika Tengah.
Setelah istirahat materi dilanjutkan dengan presentasi Amund Sinding Larsen yang mengungkapkan studi kasus berubahnya morfologi perkotaan tradisoinal dikarenakan adanya kemajuan zaman. Studi kasus yang diangkat adalah kasus Tibet yang diwarnai dengan kedatangan Cina yang merubah daerah tradisonal, menjadi daerah wisata yang menyebabkan daerah tersebut kehilangan nilai nilai budaya



Jum’at, 6 Oktober
Materi dilanjutkan oleh Amund Sinding Larsen mengenai nilai-nilai historis dan budaya yang semakin tenggelam dengan adanya kemajuan zaman.
Dibicarakan pula mengenai konvensi dunia mengenai historical building, termasuk peranan ICOMOS dan ICOM. Diberikan pula studi kasus mengenai gedung yang tetap bertahan di daerah perang, yaitu di daerah Kabul, Afghanistan.
Setelah istirahat materi dilanjutkan mengenai peranan Ilmu pengetahuan modern dalam hal ini sinar laser dan fluoresense dalam melakukan studi kerusakan pada bangunan benda budaya yang dilakukan tanpa merusak bangunan. Materi diberikan oleh Dr Sune Svanberg, ahli Fisika Swedia.

Berakhir minggu kedua. MInggu ketiga dimulai hari minggu dengan perjalanan ke Stockholm by bus.

minggu pertama; I am in Scandinavia now...



Beginning of adventure

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, hampir 20 jam (gak pake mandi) termasuk delay di CGK selama 4 jam, sampailah saya di Amsterdam sebagai gerbang pertama benua Eropa. Walaupun ini ke 3 kalinya di Schipol tetap aja bingung..karena sekali ini berangkatnya benar-benar sendirian.
Setelah cari-cari gate, akhirnya ketemu juga pesawat yang menuju Denmark. Di sini muka asia sudah dapat dihitung dengan jari, makanya pas di pesawat ternyata bareng dengan anak Jakarta seneng banget,sebab saya masih bisa pake bahasa Indonesia di atas benua Eropa.
Setelah sampai di Copenhagen, baru bener-bener bingung, nah lo... sendirian, so.. welcome to the jungle.

Berbekal petunjuk dari panitia, saya cari kereta yang melewati oresound yang menuju Lund. LUnd letaknya di selatan Swedia,jadi masuk kesana paling gampang lewat Denmark.






Setelah seret seret koper, akhirnya sampai juga di kota Lund, nunggu bis, sampai ke hotel.
Kesan pertama lihat kota, gak beda denga Leiden, sama aja kota tua. dan banyak sepeda nya.

Setelah istirahat semalaman, dimulailah kursus singkat ini

Minggu Pertama
Penekanan materi yang diberikan berbeda-beda tiap minggunya. Pada minggu pertama kursus penekanannya pada perspektif atau cara pandang dalam melakukan penilaian atau assesment terhadap gedung-gedung yang bernilai historis.

Senin, 25 September


Bertempat di ruangan HDM studio yang berada pada gedung A di kompleks fakultas teknik Universitas Lund, dilakukan registrasi peserta yang dilakukan dengan sangat baik oleh panitia. Peserta kursus CMHB 2006/2007 terdiri atas 26 peserta, 9 diantaranya wanita yang berasal dari 17 negara. Selanjutnya pidato perkenalan welcome speech oleh Dr Kerstin Barup, Course Director, profesor di bidang arsitek, dan juga Direktur jurusan arsitek Universitas Lund. Beliau memperkenalkan sekilas tentang kota Lund, universitas dan pendahuluan tentang kursus CMHB. Kursus di Lund Swedia, terdiri dari 3 minggu, dimana tiap minggunya memberikan penekanan yang berbeda-beda.
Berikutnya adalah sekilas tentang HDM (Housing Development and Management), mengenai visi dan misi disampaikan oleh Dr. Johny Astrand direktur HDM.
Setelah istirahat, kursus dimulai dengan materi pertama tentang Restorasi, diantara teori dan praktek, yang diberikan oleh Prof Dr. Mats Edstrom.
Dilanjutkan materi mengenai nilai dari benda warisan masa lalu dan persiapan untuk studi ekskursi di daerah Swedia selatan besok. Materi ini disampaikan dengan baik oleh Ingela Skarin.

Selasa, 26 September

Studi ekskursi ke 3 gedung bersejarah di daerah Skane. Peserta dibagi 3 kelompok. Setiap kelompok memillih 1 gedung dan mencari nilai yang diwarisi dari masa lalu pada setiap gedung, sehingga gedung tersebut pantas untuk dijadikan benda warisan budaya.
GEdung pertama
.

Gedung kedua:


Gedung ketiga



Malamnya dilakukan welcome dinner di hotel tempat peserta menginap

Rabu, 27 September
Materi hari ini adalah mengenai restorasi dan konservasi gedung bersejarah yang ada di daerah Skandinavia. Dipaparkan bagaimana cara penanganan, manajemen dan beberapa contoh pada gedung yang dilakukan restorasi, diberikan oleh Dr. Mats Edstrom.
Setelah istirahat, waktu dan tempat diberikan pada 26 peserta untuk memaparkan proyek masing masing. Pada kesempatan ini, Ita Yulita mewakili Indonesia memaparkan tentang kondisi Gedung Museum Nasional Indonesia pada saat ini, kerusakan dan problem yang dihadapi.

Kamis, 28 September
Mats Edstrom melanjutkan materinya mengenai Perkembangan sejarah dan teori restorasi gedung bersejarah di Eropa.. Dilanjutkan dengan materi mengenai perkembangan yang lebih modern di bidang restorasi dan konservasi gedung bersejarah.
Setelah istirahat kuliah dilanjutkan dengan materi mengenai Cultural heritage and development oleh Dr.Johny Astrand.
Sebelum pulang, sesi terakhir adalah mengenai sistem Luvit yang merupakan wadah komunikasi antara guru dan peserta, dibawakan oleh Ms. Annette Wong Jere dan Jenny Hallstrom.




Jumat, 29 September
Materi hari ini diawali dengan materi tentang perencanaan management yang diberikan oleh Dr. Flemming Aalund, arsitek dan konsultan di bidang cagar budaya dari Denmark.
Setelah istirahat, materi selanjutnya disampaikan oleh Allan Birabi dari Uganda mengenai contoh studi kasus proyek. Allan Birabi merupakan alumni dari CMHB angkatan pertama, dan telah mewujudkan proyek yang di presentasikan 2 tahun yang lalu.

Sabtu, 30 September


Dilakukan tur di kota Lund, yaitu mengunjungi tempat bersejarah di Lund yaitu hal universitas lama, katedral, kulturen (open air museum, seperti Taman Mini). Pada tur ini peserta didampingi oleh Ingela Sterin dan Anna Wahloo. Pemaparan mereka adalah bagaimana menemukan nilai-nilai berharga yang terkandung di dalamnya

Sunday, November 12, 2006

Short Course :Conservation and Management of Historical Buildings (CMHB)







Sehubungan dengan undangan pihak SIDA dan Kedutaan Swedia di Jakarta mengenai kursus konservasi bangunan bersejarah yang akan diselenggarakan di Lunds Swedia, maka pimpinan Museum Nasional Indonesia menominasikan saya, untuk mengirim aplikasi ke panitia. Setelah menunggu satu bulan, akhirnya Ms. Annette Wong Jere selaku Course Coordinator mengirimkan surat pemberitahuan bahwa saya telah terpilih sebagai salah satu peserta kursus mewakili negara Indonesia bersama dengan Erika Yuniastuti dari Arsitektur ITS.

alhamdulillah....


Kursus mengenai konservasi dan manajemen gedung bersejarah, Conservation and Management of Historical Building, CMHB ini merupakan program training Internasional, kerjasama antara Universitas Lunds, yaitu departement of Architectural Restoration and Conservation, Department of Housing Development and Management dengan SIDA , Swedish International Development Cooperation Agency.
Kursus ini terdiri dari 3 minggu dengan peserta terpilih sebanyak 26 orang berasal dari 17 negara di Asia, Afrika dan Timur Tengah. Pengajar sebagian besar arsitek dan conservator profesional dari Swedia, Denmark , Norwegia dan Amerika Tengah.
Kursus terdiri atas 3 tahap, yaitu tahap pertama diadakan di Lund, Swedia, dimana peserta diberikan materi dan melakukan komunikasi dengan para pembimbing. Pada tahap pertama peserta mempresentasikan projek yang akan dilakukan (dua kali , awal dan akhir supaya kelihatan progress nya selama kursus). Tahap kedua dilaksanakan pada masing-masing institusi peserta yaitu melaksanakan program yang telah dipresentasikan pada hari terakhir pada tahap pertama. Pada tahap kedua ini komunikasi diantara peserta dan pengajar terus berlangsung dengan memanfaatkan LUVIT, yaitu sistem komunikasi melalui internet melalui website LUVIT.
Tahap ketiga akan diselenggarakan pada bulan Maret April 2007 di salah satu negara peserta di Afrika Utara. Telah diputuskan, tahap ketiga akan dilaksanakan di Mesir. Pada tahap terakhir ini peserta memaparkan hasil yang diperoleh.

Sebagai pekerja museum dengan background non arsitek saya sangat bangga mendapat kesempatan untuk mengikuti kursus ini (sebagian peserta adalah arsitek)
Walaupun pada awalnya sempat kepikiran, kenapa saya yang terpilih, kan saya bukan arsitek, dan pada hari - hari pertama sempat shock, tapi ke sana nya, yahh kembali menjadi diri sendiri, cuek. Biar aja.
Toh gak semua orang Indonesia bisa dapat kesempatan seperti ini..

Perjalanan, perasaan, ilmu yang saya dapat selama 3 minggu akan saya tulis di sini..
Jadi tunggu posting berikutnya..

Wass

Ita



Friday, October 27, 2006

Ternyata maintenance itu tidak gampang ya...


Renungan setelah pulang dari Vasa Museum, Stockholm




Ramadhan kemarin, tiga minggu saya ada di belantara Swedia. Dan pada suatu hari mendapat kesempatan mengunjungi Vasa museum. Sudah di beri tahu sama pembimbing, kita akan mengunjungi museum yang berisi kapal laut, yang ada di benak ku , paling gak beda dengan museum maritim di mana aja.
Ternyata, isinya memang kapal, tapi objeknya cuma satu, tapi gede buanget !!

Cerita di baliknya seru, mirip titanic, tapi gak ada Leonardo nya.
CEritanya, raja Swedia waktu itu ingin membuat kapal perang yang dilengkapi dengan senjata berat yang banyak (meriam, kebayang kan beratnya).

NAh, pada D day nya, kapal itu diluncurkan untuk pertama kali.
Dan baru beberapa saat , karena keberatan kali ye... itu kapal perlahan-lahan menghilang dari permukaan laut alias tenggelam...

Karena dalamnya BAltic sea dan keterbatasan pengetahuan dan peralatan pada tahun 1660 an, maka selama 300 tahun itu kapal (yang terbuat dari kayu) berada di tempatnya dengan aman.

Baru sekitar tahun 1960 an, jejak kapal mulai ditemukan,
Dan akhirnya setelah dilakukan persiapan besar-besaran, kapal diangkat ke atas.

Selanjutnya, dilakukan konservasi dan restorasi pada kapal. MUngkin karena lingkungan di dasar laut baltic mengakomodir kayu, maka kondisi kapal tersebut tidak terlalu parah, artinya bentuk kapal masih terlihat utuh..., hanya perlu pembersihan dan perbaikan .

NAh, setelah diatas, terlihta pemerintah Swedia benar-benar serius menangani harta karun yang tak ternilai.

Hal ini terlihat bagaimana mereka membuat rumah untuk kapal. Dan untuk meyakinkan pengunjung bahwa ini kapal gede banget, ruangan di dalam gedung di bikin 7 lantai di sekitar kapal (6 apa 7 ya? lupa!!).

Dan mereka selalu mengamati posisi kapal dengan GPS system, mengukur T dan RH, dan membuat lingkungan yang tidak fluktuatif.
Apalagi di luar gedung musim berganti terus dari panas hingga ke minus sekian, tentunya kalo gak di jaga, justru menjadi pemicu rusaknya kapal.

Pelajaran yang dapat diambil

memindahkan objek yang sudah beradaptasi dengan lingkungan ke lingkungan yang baru membutuhkan penanganan serius, karena bisa jadi hal tersebut justru memicu kerusakan baru.



OKtober2006

Tuesday, October 24, 2006

nampang di Viking museum Denmark

Wednesday, August 16, 2006

BENDERA PUSAKA

Kata bendera pusaka akan selalu terdengar menjelang 17 an. Menurut Kompascyber media terbitan Jumat, 02 Desember 2005, 13:00 WIB (http://www.kompas.com/utama/news/0512/02/130542.htm)...


Bendera pusaka dibuat Ibu Fatmawati, istri Presiden Soekarno, tahun 1944. Bendera berbahan katun Jepang berukuran 276 x 200 cm. Bendera itu pertama kali dikibarkan pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus tahun 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta Pusat. Dari tahun 1946 sampai dengan 1968, bendera tersebut hanya dikibarkan pada setiap HUT Kemerdekaan RI. Sejak tahun 1969, bendera itu tidak pernah dikibarkan lagi.


Berarti bendera pusaka (BP) menjalankan tugasnya setahun sekali selama 23 tahun, dan kemudian disimpan , hingga tahun 2006 ini berarti sudah disimpan selama 37 tahun.

(menurut UU BCB, sudah jadi benda bcb tuh)


Di dalam artikel itu juga dijelaskan kondisi BP pada saat tulisan tersebut dibuat

...................Bendera itu sempat sobek di dua ujungnya, ujung berwarna putih sobek sebesar 12 X 42 cm. Ujung berwarna merah sobek sebesar 15x 47 cm. Lalu ada bolong-bolong kecil karena jamur dan gigitan serangga, noda berwarna kecoklatan, hitam, dan putih. Karena terlalu lama dilipat, lipatan-lipatan itu pun sobek dan warna di sekitar lipatannya memudar. Setelah dikonservasi, kondisi bendera itu tidak lagi sobek meski di sana-sini masih terdapat bolong-bolong kecil. ...............


Sebagai orang yang ikut terjun di dunia konservasi, meskipun belum pernah melihat kondisinya secara langsung, rasanya miris juga.
Sempat ada pertanyaan ke saya, bagaimana sih cara melakukan konservasi terhadap bendera pusaka tersebut??

Saya katakan, saya tidak bisa menjawab sebelum melakukan survey kondisi BP dan juga kondisi lingkungannya..

Namun yang patut menjadi pegangan..
Tindakan apapun yang akan dilakukan adalah bertujuan untuk menyelamatkan BP. Jangan sampai tindakan yang akan dilakukan malah menambah kerusakan atau menimbulkan kerusakan baru.

Karena BP memiliki nilai historis yang tinggi, jangan sampai tindakan konservasi yang dilakukan justru menghilangkan nilai sejarah yang ada...


Rekan sekaligus guru saya , Dinah Eastop dari Textile Conservation Centre, Southampton Inggris pernah bercerita, bahwa noda pada objek dihilangkan atau tidak tergantung nilai historisnya. Jika pada kain / baju / bendera terdapat noda darah yang mengering akibat terkena peluru (misalnya pada perang), maka sebagai konservator, kita tidak patut menghilangkan noda darah yang mengering itu
Karena...., nilai sejarahnya justru pada noda tersebut.
Kalau dihilangkan berarti , kita, konservator, telah menghilangkan bukti otentik dari sejarah!!!!
Pada kasus ini berlaku ...Dirty is not dirty





Kita kembali pada bendera pusaka,
Saya tidak mau ikut campur dengan permasalahan pemindahan bendera dari Istana ke Monas (sebenarnya jadi dipindah apa belum sih???),

Saya cuma care dengan kondisi nya!!!! Kalau dari laporan pandangan mata wartawan kompas diatas itu, terdapat lubang akibat serangga dan jamur, serta memudar dan (rapuh??) pada bagian lipatan-lipatan, ... berarti yang perlu di perhatikan adalah kondisi lingkungannya, terutama lingkungan mikro yang langsung mengenai koleksi.
Temperatur dan kelembaban relatif (RH) pada lingkungan harus terus dimonitor jangan sampai terjadi fluktuasi.
Lingkungan harus bebas dari serangga perusak ( mengenai serangga perusak, kami tim dari MusNas sedang membuat bukunya).

Dan kalau dilihat dari objeknya, itu bendera terbuat dari katun. Berarti serat nya berasal tumbuhan. Tentu pemeliharaan akan sedikit berbeda dengan objek yang terbuat dari serat hewan atau serat buatan..
Lalu pewarnaan.
Apakah pada tahun 1944 untuk warna merah dicelup atau bagaimana?

Apabila kita telah tahu kondisi-kondisi seperti itu, langkah apa pun yang diambil akan lebih mudah dan teratur.
Tentunya untuk satu tujuan ;
MENGHILANGKAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN PADA BENDERA PUSAKA

atau kalau itu susah... ya MEMINIMALISASI NYA !!!!!!!!!


Terlepas dari itu semua,
Saya bangga kita memiliki Bendera Pusaka yang masih bertahan hingga hari ini..
Mudah-mudahan anak cucu cicit saya pada 100 tahun yang akan datang juga merasakan kebanggaan yang sama..



M.E.R.D.E.K.A !!!!!!!!!!!!!!!!

Tuesday, August 15, 2006

bagian V. Solusi

V. Solusi : Manajemen Penanganan Cahaya

Tidak dapat dipungkiri, pencahayaan pada koleksi yang dipamerkan menimbulkan kenyamanan visual bagi pengunjung museum. Hal ini dikarenakan dengan adanya cahaya dapat menimbulkan efek 3 dimensi dari koleksi terutama pada koleksi yang ingin ditonjolkan dan mudah untuk membaca label. Namun pemakaian yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan permanen pada koleksi, terutama untuk koleksi yang sensitif terhadap cahaya. Untuk mengatasinya, perlu dilakukan pengaturan dan manajemen pencahayaan pada koleksi dengan lebih memperhatikan penggunaan jenis lampu yang dipakai. Disamping itu hal-hal lain yang disarankan dalam manajemen pencahayaan koleksi antara lain:
1. Mengurangi cahaya matahari (daylight) yang masuk ke koleksi
2. Apabila memang lampu halogen diperlukan, maka pilih lampu halogen yang telah memiliki UV filter.
3. Menggunakan lampu fluoresens yang nilai UV nya lebih rendah, dan kemudian ditutup dengan filter UV sebagai perisai yang dapat ditempatkan disekitar tabung.
4. Menggunakan lampu yang memiliki tombol pengatur cahaya (dimmer).
5. Gunakan saklar atau pengatur waktu dalam mengontrol cahaya, yang pada waktu tertentu akan mati.
6. Mengurangi nilai lux lampu dengan cara menjauhkan sumber cahaya dari koleksi yang dipajang.
7. Selalu memberikan semacam pelindung atau filter pada sumber cahaya.
8. Mendesain ruang pameran yang akomodatif dengan mata pengunjung. Hal ini memberikan kesempatan mata pengunjung untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan. Sebagai contoh, pada pintu masuk ruangan, ditempatkan lampu dengan kekuatan 500 lux, memasuki ruangan mendekati koleksi lampunya 200 lux, yang akan menuntun pengunjung hingga ke depan koleksi yang memiliki lampu 50 lux. Dengan demikian pengunjung pun merasa nyaman, karena tidak langsung ke tempat gelap.
9. Melakukan teknik yang telah dikenal sejak lama yaitu dengan menempatkan kain polos di depan koleksi, yang dapat dibuka oleh pengunjung yang akan menikmatinya.
10. Pada vitrin-vitrin tertentu yang memiliki koleksi sensitif, lampu berada diluar vitrin dan hanya dinyalakan oleh pengunjung yang ingin melihat.
11. Melakukan pembatasan waktu penempatan koleksi pada display atau dengan kata lain melakukan pergantian koleksi yang di display secara kontinyu. Dalam jangka waktu tertentu, koleksi diambil, lalu disimpan kembali dalam ruang penyimpanan dan tempatnya digantikan dengan koleksi lain yang sejenis. Dapat digunakan perbandingan 1: 3. Artinya apabila dalam setahun koleksi dipamerkan selama 3 bulan, maka 9 bulan berikutnya koleksi disimpan di dalam storage.

Bagian IV- Efek PEncahayaan pada koleksi

I. Efek Pencahayaan pada Koleksi

Seperti telah disebutkan diatas, cahaya memegang peranan penting dalam penyajian koleksi. Cahaya merupakan sebuah bentuk radiasi elektromagnetik yang disebut radiasi. Cahaya yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan (visible light, cahaya tampak) adalah yang berada pada panjang gelombang antara 400 – 700 nanometer (nm). Sedangkan yang dibawah 400 nm disebut cahaya ultraviolet dan yang berada diatas 700 nm adalah cahaya infra merah.

Kerusakan dapat berasal dari ketiga jenis cahaya. Sinar ultra violet dan cahaya tampak dapat menyebabkan perubahan stuktur kimia materi sedangkan sinar infra merah dapat menaikkan suhu sehingga memiliki efek membakar, dan sinar tampak.

Jenis cahaya yang umum ditemukan di museum adalah sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang berasal dari cahaya matahari (sunlight), cahaya siang (daylight) atau pun cahaya buatan (artificial light) seperti lampu tabung (fluoresens), lampu pijar atau lampu halogen

.

Pada koleksi museum kerusakan akibat cahaya karena adanya faktor-faktor sebagai berikut:

  1. Adanya sejumlah cahaya ultraviolet dalam sumber cahaya yang sering disebut nilai UV dengan satuan mikrowatt per lumen (mW/lumen). Nilai ini tergantung dari sejumlah cahaya yang digunakan. Nilai UV tertinggi berasal dari cahaya matahari (sunlight) dan cahaya siang (daylight). Untuk lampu buatan, lampu halogen dan fluoresense memiliki nilai UV yang sedang, sedangkan lampu pijar hampir tidak memiliki kandungan UV dalam cahayanya. Rekomendasi internasional untuk koleksi yang sensitif, seperti lukisan dan cat nilai UV nya harus dijaga agar tetap dibawah 75 mikrowatt/ lumen.
  2. Adanya nilai intensitas iluminasi cahaya, yaitu terang tidaknya cahaya yang mengenai koleksi. Nilai ini dinyatakan dalam satuan lux (lumen / cm2 ). Makin tinggi intensitas cahaya maka nilai lux akan makin tinggi. Sebagai perbandingan nilai 10 lux = cahaya 1 batang lilin. Koleksi yang sangat sensitif seperti tekstil direkomendasikan dibawah 50 lux. Sedangkan koleksi yang tidak terlalu sensitif seperti cat minyak dan gading direkomendasikan tetap di bawah 200 lux. Berdasarkan sensitifitas koleksi terhadap cahaya, terdapat 3 kelompok koleksi, yaitu:

i. Koleksi sangat sensitif, yaitu tekstil, kertas, lukisan cat air, foto berwarna, Kekuatan terhadap cahaya adalah 50 lux untuk 3000 jam pameran / tahun atau 150 lux untuk 250 jam/tahun

ii. Koleksi sensitif; yaitu koleksi cat minyak, foto hitam putih, tulang, kayu. Kekuatan terhadap cahaya adalah 200 lux untuk 3000 jam pameran/tahun

iii. Koleksi kurang sensitif; yaitu koleksi batu, logam, gelas, keramik. Koleksi jenis ini tahan terhadap cahaya

  1. Lamanya waktu paparan cahaya yang bersifat kumulatif pada koleksi, yang akan mempercepat terjadinya kerusakan. Makin sering koleksi terkena cahaya, berarti makin banyak intensitas cahaya yang mengenai koleksi, maka koleksi makin rusak.

Pengaruh cahaya terhadap koleksi telah diuji coba oleh Canadian Conservation Institution dengan menggunakan uji yang disebut sebagai standar wool biru (the blue wool standard). Dari blue wool standard ini dapat dilihat derajat pemudaran cahaya .

Untuk mengetahui seberapa besar akumulasi nilai lux yang telah diterima koleksi selama dipamerkan, berikut diberikan contoh perhitungan.

Contoh:

Pada vitrin yang berisi koleksi kain songket diukur nilai intensitas cahayanya, yaitu sebesar 30 lux. Kain tersebut telah dipamerkan selama 10 tahun tanpa dilakukan penggantian. Selama rentang waktu 10 tahun itu, berapa lama koleksi mendapat paparan cahaya ??. Apakah paparan tersebut telah melewati batas yang disarankan?? Bagaimana dapat dijelaskan kondisi seperti ini?

Penyelesaian:

- Koleksi dalam sehari dipamerkan selama 6 jam, maka sehari I = 6x30 = 180 lux/hari

- Untuk seminggu (6 hari kerja), I = 6 x 180 lux = 1080 lux / minggu

- Untuk sebulan (4 minggu) I = 4 x 1080 = 4320 lux / bulan

- Untuk setahun (12 bulan) , I = 12 x 4320 = 51.840 lux / tahun.

Karena standar yang diberikan, untuk paparan 50 lux sebaiknya hanya dipamerkan 3000 jam pameran/tahun = 50 x 3000 = 150.000 lux , maka

Untuk 30 lux, sebaiknya dipamerkan selama 150.000 / 30 = 5000 jam pameran.

Apabila satu hari dipamerkan selama 6 jam, maka koleksi dengan intensitas cahaya 30 lux, sebaiknya dipamerkan selama 5000/ 6 = 833 hari = 27 bulan = 2 tahun 3 bulan.

Dengan demikian waktu pamer selama 10 tahun itu sudah melewati batas yang ditentukan. (karena selama 10 tahun koleksi telah terkena paparan cahaya sebanyak: 10 x 51.840 = 518.400 lux.!!!!).

Saran yang dapat diberikan pada kasus seperti inji adalah cepat angkat koleksi dang anti dengan koleksi yang lain.

Bagian III ..Pencahayaan.......

I. Penataan Koleksi di Ruang Pamer

Setelah konsep alur cerita disepakati, langkah berikutnya adalah membuat konsep tersebut menjadi nyata, yaitu melalui penerapan tiga dimensi dalam ruang pamer. Disini dituntut peranan maksimal dari desainer peñata pameran sehingga mampu membuat pegunjung terkesan dan informasi yang ingin diberikan sampai pada pengunjung. Kurator membuat bagaimana koleksi memiliki nilai sense of knowledge yang tinggi, namun desainer yang harus mampu menerjemahkan menjadi sense of visual.

Koleksi ditata sesuai dengan alur cerita, dapat ditempatkan di dalam vitrin atau diluar vitrin dengan memperhatikan nilai-nilai estetika dan juga faktor keamanan koleksi dan konservasi koleksi. Faktor keamanan antara lain menjaga agar koleksi tidak tercuri dengan menempatkan kamera di berbagai sudut serta menjaga dari bahaya kebakaran dengan menempatkan alarm, smoke detector (detektor asap) dan alat pemadam kebakaran. Pertimbangan kaidah konservasi juga harus diperhatikan, yaitu menjaga kondisi lingkungan dengan mengontrol temperatur, kelembaban dan cahaya dalam vitrin dan ruang pamer.

Sebagai pendukung, disekitar koleksi harus diberi label yang menceritakan latar belakang koleksi. Pembuatan label juga bukan perkara yang mudah. Label harus dibuat ringkas dan padat, sehingga dalam waktu singkat pengunjung dapat mengambil intisari dari koleksi tersebut dan pulang dengan membawa informasi.

Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam penataan adalah cahaya. Karena dengan adanya cahaya yang jatuh menimpa koleksi dapat menimbulkan apresiasi bentuk dan warna koleksi yang lebih mendalam serta menjadikan koleksi lebih menarik. Disamping itu dengan adanya cahaya, label lebih mudah terbaca terutama untuk pengunjung yang berusia tua.

Namun perlu ditekankan, cahaya yang digunakan jangan sampai merusak koleksi. Hal ini karena dari beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan pada koleksi, kerusakan akibat cahaya adalah yang paling parah. Berdasarkan pernyataan ini, sepertinya terdapat pertentangan antara penyajian yang menarik dengan kaidah konservasi koleksi. Untuk mengatasinya harus dicari jalan tengah diantaranya sehingga keduanya dapat berjalan seiringan.

Penataan vs Pencahayaan di Museum -bagian 2

II. Konsep Penataan dan Penyajian Koleksi

Telah diketahui museum didefinisikan sebagai suatu tempat penting bagi pelestarian benda budaya dan alam yang dijadikan koleksi, dirawat, dijaga dan disajikan bagi kepentingan umat manusia sekarang dan masa yang akan datang (Hari Untoro,2004). Dengan demikian, salah satu tugas pengelola museum antara lain menyajikan koleksi yang dimiliki, berupa warisan budaya yang memiliki sifat unik dan tidak dapat digantikan. Agar dapat menarik pengunjung untuk datang, maka tidak salah jika museum dibuat semenarik mungkin sehingga tidak ada kesan bahwa museum itu gudang.

Untuk membuat penyajian yang menarik, harus memiliki konsep apa yang ingin disajikan serta pendekatan apa yang akan digunakan, karena merupakan titik awal dalam membuat alur cerita yang akan dinikmati pengunjung saat berkeliling. Selain itu dibutuhkan pula kemampuan menerjemahkan apa yang menjadi konsep untuk diterapkan di dalam ruang 3 dimensi. Sehingga konsep yang tadinya hanya ada di kepala dapat diterima oleh masyarakat luas.

Sebagai contoh adalah keadaan yang terjadi di Museum Nasional sekarang. Museum Nasional pada awal berdirinya merupakan tempat penyimpanan benda-benda kuno dan sistem penyajian koleksi merupakan warisan dari jaman Belanda dan belum ada perubahan yang mendasar.

Pendekatan yang dipakai kurang jelas, misalnya pada koleksi Etnografi digunakan pendekatan berdasarkan regional wilayah-wilayah yang ada di Indonesia, namun pada koleksi-koleksi lain digunakan juga pendekatan kronologis, yaitu dalam penyajian koleksi prasejarah arkeologi dan sejarah. Selain itu terdapat juga pendekatan berdasarkan bahan, yaitu koleksi perunggu, emas, terakota dan keramik dan pendekatan berdasarkan disiplin ilmu, yaitu koleksi geografi dan numismatik (mata uang).

Seiring dengan perkembangan waktu pendekatan yang terlalu banyak ini ternyata tidak dapat lagi dipertahankan, karena terlalu banyak fokus yang diambil, sehingga tujuan semula yang ingin memberikan informasi kepada pengunjung malah tidak sampai. Pengunjung memang memperhatikan koleksi yang dipajang, tapi nuansa yang ada di balik objek itu tidak tersampaikan, dengan kata lain koleksi tidak mampu bercerita apa sebenarnya yang ada dibelakang koleksi ini. Disamping itu pula karena koleksi di dalam museum harus menyesuaikan dengan ruangan yang ada, maka ruangan museum terasa penuh dan desain tata pameran juga terlihat mengabaikan nilai-nilai estetikanya.

Maka berdasarkan hal tersebut, dengan adanya pembangunan gedung baru, konsep penataan pameran tetap museum Nasional mulai dirubah. Hal ini karena museum Nasional ingin sekali pengunjung yang datang akan pulang membawa informasi yang diperoleh. Lalu diputuskan konsep penataan yang dipilih adalah konsep tematik, yaitu semua koleksi yang di display memiliki alur cerita yang sejalan dengan pendekatan yang telah disepakati. Pendekatan yang dipakai dalam hal ini adalah ekologi budaya, yaitu di dalam kehidupan masyarakat senantiasa terdapat unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal yang disebut sebagai inti budaya yang terdiri dari masyarakat sosial, kehidupan politik dan pola kepercayaan yang selalu terikat dengan kegiatan mata pencaharian dan susunan kehidupan ekonominya. Unsur-unsur yang bersifat universal tersebut akan menampakkan evolusi yang sejajar dengan berbagai kebudayaan. Disamping inti budaya terdapat juga unsur-unsur sekunder seperti teknologi, sistem pengetahuan dan kesenian yang juga menampakkan perkembangan yang khas.

Alur cerita dibuat sesuai dengan perkembangan yang terjadi pada masyarakat. Dengan mengikuti alur perjalanan, maka pengunjung seperti dituntun untuk melihat hubungan dan perkembangan tersebut selama perjalanannya mengelilingi museum.

Dengan menata koleksi sedemikian rupa, pengunjung diajak menjelajahi dimensi waktu masa lalu, melihat dinamika kehidupan manusia dan hasil karyanya guna memahami kehidupan sosial dan sejarahnya, serta untuk memperoleh pengetahuan dan pelajaran yang baru mengenai sejarah peradaban.

PENYAJIAN DAN PAMERAN KOLEKSI MUSEUM: DILEMA PENCAHAYAAN DIANTARA PENATAAN DAN KONSERVASI


bagian pertama

Pendahuluan

Ketika pengunjung mendatangi museum, ia sudah mulai bertanya, informasi apa yang akan diperoleh dengan mengunjungi museum ini. Apabila yang dikunjungi adalah museum khusus, setidaknya ia sudah mulai memperkirakan apa yang akan ditemukan.

Misalnya saat datang ke museum tekstil, ia tahu akan menemukan banyak sekali tekstil dari berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai macam jenis dan motif. Namun ia ingin mendapatkan informasi yang lebih dari itu, antara lain gambaran mengenai perkembangan tekstil dari dulu hingga sekarang, cara membuatnya, hingga bagaimana cara pemeliharaan dan perawatannya.

Atau apabila pergi ke museum wayang, tentu di benak si pengunjung itu ingin tahu wayang apa saja yang (pernah) ada di Indonesia, daerah mana saja yang memiliki wayang, adakah perbedaan antara wayang di suatu daerah dengan wayang di daerah lain, dan juga ingin tahu bagaimana cara memainkan wayang.

Tentunya apabila informasi yang ingin dicari ternyata ada di museum yang dikunjungi, tentu pengunjung akan puas. Kepuasan itu akan bertambah apabila ternyata pengetahuan yang diperoleh lebih dari yang ia bayangkan.

Pengunjung dapat memperoleh informasi yang diinginkan hanya dengan cara berkeliling dari suatu ruangan ke ruangan lain dengan melihat dan membaca apa yang tertera di dalam ruang pamer. Artinya koleksi beserta pendukungnya telah menjalankan tugasnya sebagai pembawa informasi dan telah melakukan komunikasi yang baik dengan pengunjung. Komunikasi yang baik di dalam museum dapat terjadi apabila koleksi di ruang pamer beserta sarana pendukungnya telah ditata sedemikian baik dan jelas mengikuti konsep yang telah dibuat oleh pengelola museum.

Dengan demikian penataan dan penyajian di ruang pamer memiliki peranan penting dalam menginformasikan keberadaan koleksi yang dimiliki museum.

Namun demikian penyajian di ruang pamer ini harus tetap memperhatikan

(i) sifat koleksi sebagai benda cagar budaya, yaitu tidak dapat diperbaharui, terbatas, baik itu dalam bentuk, jumlah dan jenisnya serta mudah rusak dan

(ii) jenis koleksi, apakah terbuat dari bahan organik (kayu, kertas, lukisan, kain, bambu), atau dari bahan anorganik (logam emas, perak,tembaga, perunggu, kuningan, besi keramik, tanah liat dan batu).

Tuesday, July 11, 2006

OOT : berita duka

Berita Duka...

Hari ini hari yang tidak terlupakan bagiku. Teman seperjuangan pulang kantor, Ibu Peni Mudji Sukati, telah pergi ke haribaan Allah, jam 9.20 pagi ini, 11 Juli 2006 di RS Persahabatan

Innalillaahi wa inna ilaihi roji'un...



Selamat jalan Bu Peni..., semoga amal ibadah mu diterima Allah, dan mendapatkan tempat yang layak di sisi NYA.
AMIIIIN

Saturday, June 24, 2006

ICOM-CC Working Group on Ethnographic Collections

Menjadi member sebuah organisasi international??? gak kebayang..

Dan itulah yang sekarang jadi impianku. Aku sudah gabung menjadi anggota / mailng list ICOM CC WG Ethnographic collections. Walaupun baru sebatas guest doang. Karena, aku belum jadi anggota ICOM atau friend of ICOM.
MEmang itu pribadi, tapi bayarnya cukup gede, 40 euro. per tahun.

Aku masih mikir nih, kira-kiranya......, lebih banyak yang menguntungkan atau tidak ya dengan mengeluarkan uang segituu?? (kok aku jadi perhitungan gini ya)

by the way..
I try dech....

Tuesday, June 13, 2006

MUSEUM ADALAH STORAGE


Hari ini rekan dari salah satu museum di Medan datang ke Musnas, untuk berbagi, tukar pikiran, dll. Salah satu pertanyaannya adalah, bagaimana kita menangani storage ? karena menurutnya storage di museum tempat ia bekerja sangat memprihatinkan, jauh dari perawatan ataupun hanya sekedar perhatian.

Seminggu sebelumnya kami juga didatangi mahasiswa-mahasiswi arkeo UI, salah satu pertanyaan dari ade-ade manis itu juga mengenai storage, yaitu bagaimana musnas menangani koleksi yang ada di storage.

Kedua peristiwa diatas membuat aku melek. Dan segera menyadari pasal dari BCB ( sori Pak Hari, lupa pasal berapa) , yang menyebutkan...
------museum merupakan tempat untuk menyimpan dan menjaga kelestarian koleksi........

Kembali ke realita, ke kondisi sekarang. Memang kita ternyata dari awal selalu membedakan ruang storage dengan ruang pamer......, ruang pamer, karena akan dilihat, dibuat seindah, sebagus, senyaman mungkin... dengan tema-tema tertentu, sehingga pengunjung dapat info dari objek. Sedangkan storage, benar-benar seperti gudang tempat simpan, yang seringkali kita lupa untuk menengoknya. Dibersihkan jika perlu aja...
Padahal sebenarnya.... menurut saya, gak ada itu yang namanya ruang pamer.
Semua ruangan atau tempat yang ada di museum, yang didalamnya terdapat koleksi adalah storage.

Bedanya...
Ada storage yang dapat dilihat dan dinikmati pengunjung,
Dan ada storage yang tidak dapat dikunjungi, hanya oleh staf museum atau orang-orang tertentu saja...


Jadi,
Dengan demikian, perlakuan perawatan kita terhadap keduanya akan sama....,
KARENA SAMA-SAMA BUTUH PERHATIAN, sebab didalamnya terdapat warisan budaya yang tidak ternilai harganya........
Sehingga pemilihan bahan, material, iklim (T dan RH) tidak dibeda-bedakan.

SEMUANYA MENGGUNAKAN BAHAN YANG CONSERVATION GRADE...

Yang membedakan, pada storage yang dapat dikunjungi tentunya harus ada nilai lebih, yaitu punya tema-atau alur yang menarik.


Ciputat, 13 Juni 2006



Tuesday, May 30, 2006

GEMPA JOGJA JATENG, DUKA KITA

Dear all,
Gempa SAbtu kemarin di Yogja dan JAteng menghentakkan kita semua. KIta yang was-was dengan merapi, ternyata bencana tersebut dari bawah, dari laut.

Akibatnya tidak hanya korban jiwa yang cukup banyak, namun juga banyak benda cagar budaya, situs,, candi yang terkena dampaknya...

Untuk itu, saya sebagai anak bangsa yang peduli dengan bcb, ikut prihatin dan berduka. MUdah-mudahan cepat ditangani baik oleh pemerintah atau masyarakat.
Saya ingin membantu secara moril dan juga pikiran.., khususnya mengenai konservasi dan restorasi benda bcb tersebut..
So do not hesitate to contact me....

Bye

Jakarta, 30 Mei 2006

Friday, March 03, 2006

ADA LAGI KELANJUTAN DARI KONSERVASI PREVENTIF

Di dunia konservasi sekarang ada kecenderungan baru lagi untuk memelihara koleksi museum. Setelah konservasi kuratif ditinggal, kemudian lanjut ke konservasi preventif, kecenderungan dunia konservasi sekarang ke yang lebih global lagi, yaitu RISK MANAGEMENT.

Risk Management atau manajemen resiko ini bukan hal baru di dunia transportasi, kesehatan atawa industri. KArena sudah banyak yang menerapkan, dan hasilnya sukses. Artinya, resiko yang merugikan dapat diantispasi dari awal.

MAka dari itu, dicoba diterapkan dalam dunia konservasi museum / situs. Tapi, Risk Management dalam menangani benda budaya di museum atau situs masih merupakan hal yang baru.

Sebagai alat dalam menilai, digunakan Risk Assesment (penetapan resiko) untuk menilai , dengan skor-skor tertentu.

Resiko dalam konteks benda budaya adalah hilangnya nilai dari bcb.
Yang dapat di hitung sebagai probabilitas terjadinya peristiwa (P) dan efek dari peristiwa itu terhadap koleksi / benda.

Lalu?? Tertarik ingin menerapkan??
TUnggu posting berikutnya dari saya ..

Bye...

Sunday, February 26, 2006

Apa itu Konservasi?

Banyak pertanyaan ke saya, sebenarnya konservasi itu apaan sih? apa bedanya dengan pemeliharaan? apa artinya sama dengan pembersihan atau ngelap koleksi?

Pertanyaan seperti itu membuat saya sadar, bahwa yang pertama kali harus saya lakukan di dalam tulisan-tulisan saya ini adalah istilah konservasi, sehingga kita semua punya paradigma yang sama, punya pandangan yang sama.

Konservasi itu arti sebenarnya adalah pemeliharaan koleksi. Yaitu bagaimana koleksi yang disimpan di museum dijaga, dan dirawat sehingga tidak rusak dan bertahan hingga masa yang akan datang.
Paradigma konservasi itu selalu bergeser dari masa ke masa. Dulu banget, yang namanya pemeliharaan itu,diprioritaskan langsung pada koleksi, artinya semua perlakuan ditujukan pada koleksi. Misalnya kita lihat koleksi koin perunggu penuh dengan noda kebiruan (yang berarti sudah ada korosi). Maka pemeliharaan yang kita lakukan adalah menghilangkan korosi yang ada di permukaan. Biasanya kita merendam dengan larutan sesqucarbonat sehingga noda biru terangkat.
Atau menghilangkan tarnish pada koleksi perak dengan menggunakan calcium karbonat yang sudah dibuat pasta.

Untuk sekarang, rasanya tindakan seperti itu harus dipikir-pikir dulu deh. Maksudnya prioritas ke sekian. Bukan tindakan itu tidak baik, bukan (saya sendiri sudah melakukan penelitian kecil-kecilan seberapa banyak sih sesqu yang dibutuhkan untuk mengangkat korosi, tapi tidak merusak koin?). Sampai sekarang pun kita masih melakukan.
Namun, alangkah baiknya jika sebelumnya pertanyaan kita ke arah lain dulu. Kenapa sih korosi biru itu muncul pada koin?, dari sebelum masuk museum, atau sudah (kalau sudah berarti , pertanyaan berikutnya, emangnya tu koin disimpen dimana? gimana kondisi vitrinnya. tertutup? lembab? basah?
Bener deh, kalau kita amati kondisi lingkungannya baru kita bisa mengambil kesimpulan apa yang mau kita lakukan.
Jadi kalo udah tahu penyebabnya, penyebabnya diberesin dulu, terus dilakukan treatment pada oleksi, kemudian disimpan atau dipajang lagi. Tapi, .. tempat penyimpanannya sudah direnovasi atau di rebersihin, jadi.., kecil kemungkinan korosi atau tarnish akan muncul lagi..

Begitu,
Kesimpulannya konservasi yang ingin saya kampanyekan di blog ini adalah pertama preventif dulu, baru kemudian kuratif.
Mencegah lebih baik daripada mengobati kok.....

Karena musuh koleksi di Indonesia adalah debu,lembab, serangga...Jadi perhatiin 3 in 1 ini dulu. Maka koleksi kita akan terpelihara

Sampai jumpa di artikel berikutnya

Saturday, February 11, 2006

SAHABAT MUSEUM

Agak menyimpang dari dunia konservasi, namun masih berhubungan dengan museum.
Ternyata sudah ada komunitas pencinta museum dan benda atau masa-masa sejarah atau heritage.Namanya Sahabat Museum, disingkat BatMus...Asik juga ikut milis ini, minimal kecintaan kepada masa lalu bertambah. walaupun saya belum pernah mengikuti Perjalanan Tempo Doeloe atau acara yang mereka gelar. Baru sebatas pengamat milis.
Mudah-mudahan di masa yang akan datang BatMus benar-benar jadi sahabat buat museum.
Dari mereka ini, pihak museum akan dapat masukan bagaimana sih masyarakat menerima museum sebagai bagian dari hidup?

Bravo buat Sahabat Museum, bravo juga buat para penjaga gawang dan moderatornya.

Tuesday, January 31, 2006

AGEN PERUSAK KOLEKSI DI MUSEUM

Museum merupakan wadah atau tempat dimana koleksi dijaga keberadaannya sehingga tetap terjaga kelestariannya.
Jangan sampai keberadaan koleksi di museum justru menjadikan kondisi koleksi makin parah. Untuk itu harus diketahui dulu, faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan pada koleksi.


Apa saja agen perusak koleksi ???

1. Gaya fisik
2. pencurian
3. Api, kebakaran
4. Air
5. serangga
6. Jamur
7. kontaminan
8. Radiasi
9.
Temperatur tidak sesuai
10. Kelembaban tidak sesuai

Faktor-faktor ini akan dibahas satu persatu

SELAMAT TAHUN BARU

Bagi mereka yang muslim, selamat tahun baru 1 Muharram 1427 H.
Semoga tahun ini menjadi tahun yang berkah dan rahmah, dan kita selalu berada di jalan yang lurus.

Amin

Saturday, January 21, 2006

Artikel kompas 14 Juli 2004

Pengembangan Museum Terkendala Tenaga Konservasi

Jakarta, Kompas - Pengembangan museum terkendala kurangnya tenaga ahli di bidang konservasi (perawatan dan pelestarian). Padahal, agar museum tidak lagi sekadar menjadi "gudang penyimpanan", tetapi lebih evokatif atau mampu menggugah rasa pengunjung, langkah awalnya adalah jaminan konservasi terhadap koleksi bersejarah.

"Penyajian koleksi benda di museum kita sejauh ini masih menggunakan display puluhan tahun lalu. Hanya saja, untuk mengembangkan penyajiannya, harus memindahkan letak, bahkan mengeluarkan koleksi dari kotak kaca agar dapat langsung dinikmati. Ini berisiko menimbulkan kerusakan koleksi, terutama yang berusia ratusan tahun," kata Hari Untoro Drajat, Deputi Sejarah dan Kepurbakalaan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Sabtu (10/7).

Hal itu diungkapkannya seusai pembukaan Training on Conservation, Preservation and Management of Museum Collection di Museum Nasional bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Perancis di Jakarta. Peserta pelatihan datang dari berbagai museum di Indonesia.

Seperti dikatakan staf konservasi Museum Nasional, sekaligus pembicara dalam pelatihan itu, Ita Yulita, tenaga di bidang tersebut belum memadai. Koleksi Museum Nasional yang jumlahnya berkisar 120.000-140.000 misalnya, baru ditangani oleh 10 tenaga konservasi.

"Untuk menyentuh koleksi yang sama agar mendapatkan penanganan konservasi, saya membutuhkan waktu dua atau tiga tahun. Padahal, seharusnya minimal setiap satu tahun masing-masing koleksi harus ditangani agar diketahui perkembangan kondisinya," katanya.

Keterbatasan tenaga itu menyebabkan petugas Museum Nasional menetapkan prioritas pada koleksi yang rusak atau terkena penyakit.

Hal senada diungkapkan Ery Sustiyadi dari Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Sekitar 8.000 koleksi di sana ditangani juga oleh 10 orang. Itu pun belum semua tenaga memiliki keahlian untuk konservasi.

"Selama ini konservasi dilakukan berdasarkan kebiasaan turun-temurun. Koleksi keris, misalnya, di-warangi atau dicuci dengan air jeruk. Padahal, sebelum ada perlakuan terhadap benda koleksi seharusnya ada penelitian terlebih dahulu untuk mengetahui reaksi zat- zat tertentu. Bisa jadi zat itu justru perlahan menyebabkan kerusakan koleksi yang tidak ada gantinya," katanya menjelaskan.

Jalin kerja sama

Hari Untoro mengatakan, pemerintah telah dua kali bekerja sama dengan Perancis untuk pelatihan tenaga konservasi. Dengan kekayaan peninggalan kebudayaannya, negara itu dianggap maju dalam konservasi dan penyajian di museum.

Adanya pelatihan itu diharapkan mempercepat ketersediaan tenaga konservasi sehingga dapat segera dilakukan desain ulang terhadap penyajian koleksi museum.

Gilles Garachon dari Kedutaan Besar Perancis untuk Indonesia menambahkan, konservasi tetap yang utama bagi sebuah museum. Namun, setelah itu penyajian benda koleksi yang terkait dengan display harus mendapat perhatian.

"Jika penyajian tidak menarik, maka koleksi di museum tidak akan diapresiasi oleh masyarakat. Padahal, museum merupakan memori untuk mengetahui diri sendiri dan membangun di kemudian hari," paparnya. (INE)


Search :